Contoh Makalah dan Pengertian Laporan

Contoh Makalah dan Pengertian Laporan


BAB I
LAPORAN

1.      Pengertian laporan
            Sesorang yang di tugaskan untuk meneliti suatu daerah atau suatu pokok persoalan tertentu, harus menyampaikan suatu pelaporan mengenai hal yang di tugaskan kepadanya. Penulis laporan harus menyadari dan berusaha agar apa yang di sampaikan itu merupakan hal yang penting. Mengenai pengalaman-pengalaman pribadi hal-hal yuang kurang penting bila dibandingkan dengan masalah yang dihadapi. Sebanarnya laporan itu sendiri merupakan suatu jenis dokumen yang sangat berfariasi bentuknya, dan oleh sebeb itu sukar diberi batasan pengertian yang jelas. Laporan merupakan unsur yang sangat penting terutama dalam menyusun kebijakan-kebijakan.
            Laporan adalah suatu cara komunikasi dimana penulis menyampaikan informasi kepada seseorang atau suatu badan karna tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Karena laporan yang dimaksud sering mengambil bentuk tertulis, maka dapat pula dikatakan bahwa laporan merupakan suatu macam dokumen yang menyampaikan informasi mengenai sebuah masalah yang telah diselidiki. Dalam bentuk fakta-fakta yang telah diarahkan kepada pemikiran dan tindakan yang akan diambil.
2.      Dasar-dasar laopran
Sebuah laporan bertolak dari bebrapa daras, yaitu orang yang memberi laporan, pihak yang menerima laporan, dan sifat dan tujuan laporan.
a.       Pemberi laporan
Pemberi laporan dapat berupa perseorangan, sebuah panitia yang ditugaskan untuk maksud tertentu.
b.      Penerima laporan
Yang menerima itu adalah orang atau badan yang menugaskannya, atau orang yang dianggap perlu mendapatkan laporan itu


c.       Tujuan laporan
Tujuan sebuah laporan tergantung dari situasi yang ada antara pemberi laporan dan penerima laporan. Bila pemberi laporan adalah orang yang ditugaskan untuk meneliti masalah tersebut maka tujuan ditentukan oleh pemberi laporan.
Sebaliknya bila pemberi laporan tidak menerima suatu tugas khusus maka tujuan laporan terletak ditangan pembuat laporan

3.      Sifat laporan
Fungsinya yaitu mempengaruhi pembaca seperti yang diharapkan. Hasil yang diharapkan dapat berwujud perbaikan, perubahan, bantuan, perkembangan, penegasan sikap, pengambilan keptusan, sejalan dengan tujuan laporan itu.
            Laporan yang baik harus ditulis dalam bahasa baik dan jelas. Bahasa yang dan jelas itu dapat menimbulkan pengertian yang tepat bukan kesan atau sugesti. Disamping itu isinya harus diurutkan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat masuk akal. Fakta-fakta atau bahan-bahan yang disajikan pelaporpun harus dapat menimbulkan kepercayaan.
            Laporan itu harus mengandung imajinasi. Pengertian imajinasi meliputi masalah, pelapor harus tahu secara tepat siapa yang akan menerima laporan itu beberapa dalam pengetahuannya mengenal soal yang dilaporkan. Laporan yang dibuat harus sempurna dan konflik.









BAB II
USUL
1.      Pengertian usul
            Yang dimaksud deengan usul atau proposal adalah suatu saran atau permintaan kepada seseorang atau sesuatu pekerjaan. Usul atau proposal dalam arti yang kedua sudah lama dikenal. Dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan dewan perwakilan rakyat dapat menyampaikan usul-usul kepada pemerintah mengenai sesuatu hal.
  1. Sifat dan jenis usul
Usul yang bersifat bisnis adalah penelitian, pengembangan, perncanaan, dan pemasaran. Usul lain yang lebih sering dijumpai adalah perencanaan.
  1. Usul non formal
Usul-usul yang bersifat non-formal bentuknya beranekaragam, tergantung dari penulis atau kesepakatan antara penulis dan penerima usul. Terlepas dari bentuk mana yang akan dipergunakan, sebuah usul non-formal selalu harus mengandung hal-hal berikut:
  1. Masalah
Masalah yang di sampaikan dalam sebuah usul haruslah dirumuskan dengan jelas.
  1. Saran pemecahan
Saran-saran yang disampaikan untuk memecahkan masalah dan dihadapi merupakan inti dan sasaran utama setiap usul
  1. Permohonan
Penulis menyampaikan permohonan untuk melaksanakan pekerjaan yang khusus itu, atau bersedia menyampaikan informasi yang diperlukan untuk kluiar dari maslah yan dihadapi itu.



  1. Usul formal
Usul formal harus memenuhu persyaratan tertentu  sekurang-kurangnya ada tiga bagian utama yaitu: 
ร˜  Bagian pelengkap pendahulan
·         Surat pengantar atau memorandum pengantar
·         Sampul dan halaman judul
·         Ikhtisar atau abstrak
·         Daftar isi
·         Penegasan permohonan
ร˜  Isi usul
Isi usul memuat uraian yang terperinci dari pekerjaan atau tugas yang akan dilakukan. Masalah-masalah yang akan dikerjakan itu berbeda-beda sifatnya.disamping itu situasinya pun tidak sama bahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sejenis.
  • Pembatasan masalah
  • Latar belakang
  • Luas lingkup
  • Metodologi
  • Fasilitas
  • Personalia
  • Keuntungan dan kerugian
  • Lama waktu
  • Biaya
  • Laporan

makalal tentang apa itu politik

makalal tentang apa itu politik


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Partai politik lahir untuk pertama kalinya di negara-negara Eropa Barat. Partai politik pada umumnya merupakan manifestasi  dari pada sistem politik yang sudah modern atau dalam proses moedrnisasi diri. Dengan timbulnya dan berkembangnya suatu gagasan bahwa rakyat merupakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses kegiatan politik, maka partai politik telah terlahir secara spontan dan berkembang menjadi sebuah jembatan penghunbung antara rakyat di satu fihak dan pemerintah di fihak lain.
Seperti apa yamg telah diketahui bahwa setiap sistem politik mempunyai cara-cara tertentu didalam merumuskan dan menangapi tuntutan ataupun kepentingan yang datang dari masyarakat. Kepentingan dari individu atau sekelompok orang di dalam masyarakat itu di salurkan kepada badan-badan politik atau pemerintah. Pembentukan kelompok-kelompok ini di karenakan mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama atau hampir sama. Salah satu wadah guina menyalurkan kepentingan-kepentingan in adalah melalui partai politik yang juga merupakan saluran yang dapat dipergunakan oleh kelompok-kelompok kepentigan untuk mengkonsumsikan kepentingan atau tuntutannya.
Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya akan menentukan kebijaksanaaan umum.( Public Policy ). Sedangkan di negara-negar totaliter, gagasan atau ide mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politik yaitu bahwa rakyat memerlukan bimbingan dan kendati agar dapat di capai stabilitas yang langgeng / abadi. Untuk mencapai  tujuan tersebut maka partain politik merupakan alat yang baik.
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembangdiluar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh karena itu dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen  lambat laun berusaha memperkembangkan  organisasi massa, dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlemen dengan panitia pemilihan yang sefaham dan sekepentingan, dan lahirlah partai politik.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia barat tinbul pula partai yang lahir diluar parlemen. Partai-partai ini bersandar pada suatu ideologi tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disipllin partai lebih kuat  dan pimpinan lebih bersifat terpusat.
Sejarah berkembangnya suatu bangsa tidak terlepas dari perjalanan dari bangsa tersebut untuk menentukan sistem politik yang diterapkannya. Dalam perjalanan menentukan sistem politik yang ideal pastilah bangsa tersebut telah banyak menemui berbagai kendala maupun hambatan yang dihadapi, Namun dengan berbagai kendala inilah maka bangsa tersebut akan menemukan sistem politiknya yang ideal.
Salah satu wadah guna menyalurkan kepentingan-kepentingan ini adalah partai-partai politik yang digunakan untuk mengkonsumsikan kepentingan ataupun tuntutannya. Maka dari itu dalam membahas sistem politik dalam suatu Negara, maka tidak lepas dari bahasan mengenai partai politik tersebut.
Sistem kepartaian berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum. Dalam berbagai literatur ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri. Pemilihan imum berfungsi sebagai legimitasi atau pengabsahan dalam penugasan seseorang pada jabatan tertentu di dalam jabatan-jabatan politis di pemerintahan. Aspek penting yang lain pada pemilihan umum adalah partisipasi individu dalam pemilihan dan otoritas abash yang diberikan kepada mereka yang terpilih. Dalam kaitan ini organisasi kepartaian selain berfungsi pemersatu berbagai kepentingan juga berfungsi sebagai wadah untuk membina karir politik sekarang.
Pemilihan umum merupakan sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat, dalam rangka menentukan, mengatur, menyelenggarakan dan mengurus kehidupan bersama dalam sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sarana demokrasi, pemilihan umum memang menjadi harapan bangsa Indonesia dalam rangka membentuk pemerintahan yang mencerminkan dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Disamping kegiatan pemilu untuk menyusun lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat untuk mewujudkan suatu tata kehidupan yang dijiwai semangai Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945, memilih wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat, maka tujuan pemilu adalah untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Dengan demikian melalui pemilu dapat merupakan sarana untuk menjamin kehidupan dan kelestarian Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena semua kekuatan politik yang ada di negeri kita ini, yakni kontestan dalam pemilihan umum tidak akan lagi mempermasalahkan Pancasila, baik sebagai ideology, pandangan hidup, maupun sebagai dasar Negara sejalan dengan azas tunggal yang telah disepakati.
B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan partai politik ?
2.      Apa saja klasifikasi Partai Politik ?
3.   Apa yang dimaksud Sistem Pemilu ?
4.   Apa saja jenis Sistem Pemilu ?

C. Tujuan Makalah
      1. Memperbaiki nilai mata kuliah Pengantar Ilmu Politik.
      2. Melatih diri dalam pembuatan makalah
      3. Membuka wawasan mahasiswa tentang sistem Kepartaian dan Pemilu

      D. Manfaat Makalah
1. Mengetahui lebih dalam tentang Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian.
2.  Mmberikan wawasan kepada mahasiswa tentang duni perpolitikan
3. Terlatih bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PARTAI POLITIK
Yang dimaksud dengan partai politik yaitu perkumpulan orang-orang yang seasas, sehaluan, setujuan terutama dibidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka atau berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotannya. Partai politik merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi maupun kepentingan masyarakat dalam dunia politik.
Salah satu wadah guna menyalurkan kepentingan-kepentingan ini adalah partai-partai politik yang digunakan untuk mengkonsumsikan kepentingan ataupun tuntutannya. Maka dari itu dalam membahas sistem politik dalam suatu Negara, maka tidak lepas dari bahasan mengenai partai politik tersebut.
Ada beberapa pengertian partai politik yang dikemukakan oleh pakar ilmu politik yang diantaranya adalah :
1.       Carl J. Friedrich (1967 : 419) menurutnya Partai politik adalah “
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil” ( A political party is a group of human beings, stabily organized with the further objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control idea and material benefits and advantages). Hal tersebut termuat dalam tulisannya yang berjudul Constitutional Government and Democracy : Theory and practice in Europe an America.
2.       Sigmund Neumann (1963 : 352) dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan definisi bahwa “partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang yang mempunyai pandangan berbeda” (A political party is the articulste organization of society’s active political agents, those who are concerned with the control of governmental power and who compete for popular support with another group afr groups holding divergent views)
3.      R.H Soltau (1961 : 199)dalam bukunya An Introduction to politics memberikan definisi bahwa “Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih bertujuan untuk menguiasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka” ( Political party is a group of citizen more or les organized, who act as apolitical unit anda who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies).
         Dari definisi-definisi para ahli diatas mengenai partai politik, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah suatu kelompok masyarakat atau warga negara yang telah terorganisasi, dimana para anggota yang terhimpun itu mempunyai kesatuan cita-cita dan tujuan.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, sebenarnya dapat ditemukan empat unsur pokok dari partai politik yaitu :
1.      Ada beberapa perangkat yang melekat pada partai politik merupakan sekumpulan orang yang terorganisasi.
2.      Partai politik mempunyai tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
3.      Untuk merealisasikan tujuan dari partai politik, maka partai politik bewrupaya untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya dari masyarakat lewat pemilihan umum.
4.      Partai politik memiliki prinsip-prinsip yang telah disetujui bersama oleh   antar anggota partai.

B. Klasifikasi Partai Politik
      Menurut pendapat Prof. Miriam Budiharjo (1977 : 166-167) dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik”  bahwa partai politik dapat diklasifikasikan menjadi :
1)      Berdasarkan dari segi komposisi dan fungsi keanggotaanya
a.       Partai massa yaitu suatu partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan  keungggulan jumlah anggota. Partai ini terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Sehingga kelemahan dari partai massa yaitu masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawahnya cenderung untuk memaksakan kepenitngan masing-masing, terutama pada saat krisis yang pada akibatnya persatuan partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehinnga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirdikan partai baru.
b.      Partai kader yaitu partai yang mementingkan ketaatan organisasi dan displin kerja dari angggotanya. Pimpinan partai bisanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan menjgadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari gari dari garis partai yang telah ditetapkan.
2)      Berdasarkan dari segi sifat dan orientasinya
a.       Partai lindungan (patronage party)
      Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasinya ditingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Maksud utama ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkan. Oleh karena itu, kegiatan kegiatannya hanya menjelang masa-masa pemilihan umum.
b.      Partai ideologi atau partai azas
                        Biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap percobaan.
    Selain itu menurut Maurice Duverger (1967 : 207 ) dalam bukunya yang berjudul Political parties berpendapat bahwa sesungguhnya klasifikasi partai politik dapat di bedakan menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Sistem Partai Tunggal (One-Party System)
                     Yaitu bilamana dalam suatu negara hanya terdapat satu partaio politik saja yang berperan dalam kurun waktu yang sangat lama, maka dapat dikatakan bahwa di negara tersebut menganut sistem partai tunggal. Keberadaan sistem partai tunggal ini disebabkan karena memang hanya terdapat satu partai yang dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat. Atau mungkin pada awalnya terdapat beberapa partai politik (multy atau two party system), namun dalam perkembangannya hanya terdapat satu partai politik yang selalu memenangkan mayoritas suara dalam setiap pemilu. Sehingga partai ini menjadi dominan dan  menjadikan  partai politik yang lain hanya sekedar sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berperan.
                     Salah satu ciri dari keberadaan sistem partai tunggal ini dalam suatu negara ialah bahwa kehidupan politik yang timbul penuh dengan suasana non-kompetitif. Dalam keadaan yang seperti ini, maka partai politik yang lain akan sulit untuk bersaing dengan partai yang selalu mendominasi kehidupan partai politik di negara tersebut.
Sistem partai tunggal ini biasanya terdapat pada negara-negara komunis, seperti Rusia dan China. Namun pola paretai ini juga terdapat di beberapa negara Afrika seperti Ghana pada masa pemeriuntahan Nkrumah, Guinea,  Mali atau Pantai Gading.
2. Sistem Dwi Partai (two-party system)
                     Suatu negara dengan sistem dua partai berarti bahwa dalam negara tersebuut ada dua partai atau lebih dari dua partai, akan tetapi yang memegang peranan dominan hanya dua partai. Dalam sistem dua partai ini maka partai di bagi menjadi dua yaitu partai yang besar, yang berkuasa, karena menang dalam pemilihan umum, dinamakan mayority party, partai ini memegang tanggungb jawab untuk urusan-urusan umum. Sedangkan lainnya dinamakan minority party atau partai oposisi karena kalah dalam pemilu. Partai oposisi biasanya hanya bertugas memeriksa dengan teliti dan mengkritik politik pemerintah. Negara dengan sistem dua partai ini contohnya adalah Amerika Serikat dan Inggris.
3. Sistem Multi Partai (Multy-Party System)
                     Dalam negara dengan sistem multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama kekuatannya. Masing-masing partai mempertahankan suatu politik tertentu tentang satu atau sejumlah persoalan-persoalan penting. Suatu negara dengan sistem multi partai masing-masing pemilih mendukung partai yang hampir sesuai dan mewakili pandangannya sendiri.
                     Dalam sistem multi partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalaisi dengan partai lainnya. Demikian juga partai yang berkoalisi harus pandai mengadakan kompromi dengan partai-partai lainnya lagi, karena selalu ada kemungkinan suatu ketika dukungan partnernya dapat ditarik kembali.
      C. SISTEM PEMILU
                        Sistem kepartaian berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum. Dalam berbagai literatur ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri.
                  Penentuan sistem pemilihan umum sangat penting artinya guna menentukan terciptanya pemilihan wakil rakyat yang representatif dan dimungkinkan adanya jaminan bahwa aspirasi rakyat didengar oleh sistem politik yang berlaku. Meskipun banyak variasinya, namun dalam khasanah ilmu politik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: Single Member Constituency atau lebih dikenal dengan Sistem Distrik, dan yang kedua Proportional Resoresentation atau lebih dikenal Sistem Perwakilan Berimbang (proporsional).


D. JENIS SISTEM PEMILU
                  Single Member Constituency atau sisten distrik ini dimaksudkan adalah suatu sistem pemilihan yang mengatur bahwa setiap distrik atau daerah pemilihan hanya diperebutkan satu kursi perwakilan. Oleh karena itu negara sdibagi kedalam beberapa distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau yang tersedia di parlemen. Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik yang bersangkutan di parlenen. Oleh karena itu sistem ini juga disebut Single Member Constituency. Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak atau mayoritas. Oleh karena itu juga disebut sistem mayoritas di distrik yang bersangkutan. Di dalam sistem ini yang terpilih bukanpartainya melainkan langsung si calon. Kemudian si calon akan bersaing secara langsung, sedangkan partainya sebagai pendukung akan bersaing secara tidak langsung. Dalam sistem ini makin banyak calon yang tampil maka akan semakin banyak suara yang terbuang.
                  Besarnya distrik ditentukan oleh jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Karena tiap distrik hanya diwakili oleh satu maka suara dari pendukung calon lain yang tidak mendapat suara mayoritas dianggap hilang. Dalam sistem ini partai dapat tampil sebagai pemenang cukup hanya dengan memperoleh suara mayoritas tanpa memperhatikan selisih dari pihak lawannya. Bentuk pemilihan seperti ini sering menimbulkan over atau under representation. Keunggulan dari sistem ini adalah dimungkinkannya adanya pengelompokan secara alamiah partai-partai kecil untuk mengimbangi dominasi partai- partai besar. Mungkin saja tidak dalam pengelimpokkan permanen, tetapi hanya dalam bentuk kerjasama biasa. Namun, adanya kemungkinan tersebut dapat menjamin stabilitas politik. Alasannya, fragmentasi yang muncul dalam tubuh partai politik dapat dihindari. Jangankan membuat partai baru, partai yang sudah adapun belum tentu dapat bersaing dengan partai-partai besar.
                  Sedangkan kelemahan sistem ini adalah adanya kemungkinan aspirasi politik masyarakat yang telanjur tersalurkan lewat partai politik kecil tidak dapat terwakili, seiring dengan gagalnya si calon untuk memperoleh mayoritas suara pemilih. Keadaan ini dapat menimbulkan distortion effect, yaitu terjadinya kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh satu partai politik dengan jumlah kursi yang tersedia. Keadaan ini justru dapat menimbulkan atau memunculkan mayoritas tunggal dimana partai yang menang dapat memerintah tanpa koalisi.
                  Sedangkan Proporsional Representation System menganut prosedur pemilihan tidak langsung. Massa pemilih hanya diminta menjatuhkan pilihannya terhada partai-partai yang ikut dalam pemilihan umum. Dalam system Proporsional ini diterapkan prinsip kuota, yakni jumlah penduduk yang menggunakan hak pilihnya dibagi jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang telah ditentukan. Dalam system ini kesatuan administratof dipandang sebagai daerah pemillihan. Dari daerah ini dapat dipilih lebih dari satu orang wakil dari satu Organisasi Peserta Pemilihan Umum (OPP) yang ada berdasarkan jumlah perbandingan yang telah disepakati. Oleh karena itu, pemenang dari daerah pemilihan umum tersebut dapat lebih dari satu orang, sehingga system ini bias disebut dengan Multy Member Constituency. Wakil ini ditunjuk olek OPP sehingga terkesan sebagai wakil partai daripada wakil rakyat. Karena pada dasarnya menggunakan kesatuan administrative, maka dimingkinkan adanya penggabungan suara oleh  satu OPP di dua tempat dalam daerah pemilihan yang sama. Tujuannya adalah untuk memafaatkan sisa suara yang diperoleh di sutu daerah oleh daerah lain yang membutuhkan. Dengan demikian system ini menjamin aspirasi masyarakat tercapai tetapi belum tentu didengar. 
                  Jumlah suara yang diperoleh OPP dijadikan landasan untuk menentukan jumlah wakil di dalam parlemen. Karena itu, rasio suara yang diperoleh OPP didalam pemilu sebanding dengan wakil mereka di dalam parlemen. Selain itu, system proporsiolnal ini juga dianggap adail, sebab dapat dipastikan setiap segmen dalam masyarakat pasti memiliki wakil. Secara formal system ini tidak kalah dengan system distrik dan dapat menghindari terjadinya distortion effect. Di samping sederet keunggulan di atas, system proporsional pun memiliki kelemahan-kelemahan. Karena adanya jaminan bahwa tiap-tiap segmen dalam masyarakat akan memperoleh seorang wakil, maka pragmantasi politik akan lebih mudah terjadi. Dengan kata lain system ini kurang menjamin kestabilan politik. Tiap kali terjadi konflik dalam tubuh parpol yang ada, seseorang cenderung untuk membentuk partai politik yang baru. Hal ini secara potensial dapat menyulitkan tercapainya mayoritas suara oleh satu partai politik dalam pemilihan umum.
Kelemahan yang lain dalam system proporsional dalam pemilihan umum adalah sangat memberikan kedudukan yang sangat kuat terhadap pemimpin organisasi social politik (orsospol) dalam penentuan calon-calonnya, di samping penggunaan dana yang besar.
Dari uraian singkat tersebut, dikemukakan perbedaan pokok antara system distrik dan system proporsional dalam pemilihan umum adalah terletak pada prosedur pemilihan langsung dan tidak langsung. Dan prinsip yang dipergunakan sebagai dasar dalam penentuan para calon wakil rakyat. Sedangkan John G. Grum berpendapat bahwa system distrik cenderung membentuk system dua partai, sedangkan system proporsional cenderung membentuk system multi partai.
 



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
      Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :
1.   sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri.
2.      partai politik adalah suatu kelompok masyarakat atau warga negara yang telah terorganisasi, dimana para anggota yang terhimpun itu mempunyai kesatuan cita-cita dan tujuan.
3.      Partai politik mempunyai berbagai macam klasifikasi yang di antaranya, adalah partai tunggal, dwi partai, dan multi partai.

B. Saran
1. Semua yang terlibat dalam kegiatan politik hendaknya mengikuti aturan yang berlaku sesuai yang ditetapkan Undang- Undang agar tercipta keteraturan politik di Indonesia ini.
2. Aspirasi dan suara rakyat tersampaikan dalam kegiatan politik maupun rekruitmen. Dengan kata lain pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku panduan mata kuliah Pengantar Ilmu Politik. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Suprayitno. Pemilu Indonesia  Dari Masa Ke Masa.Teguh Pertiwi Mandiri. Jakarta. 1993





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Kepartaian
1.      Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut :
Tabel sistem kepartaian
Peneliti
Kriteria klasifikasi
Sistem kepartaian
Maurice Duverger
Jumlah partai
1.      Sistem dua partai
2.      Sistem multi partai
Robert Dahl
Kompetitif oposisi
1.      Kompetitif-murni
2.      Kompetitif-kooperatif
3.      Kompetitif koalisi
4.      Koalisi murni
Blondel
Jumlah partai : ukuran partai secara relatif
1.      Sistem 2 partai
2.      Sistem 2 partai dan setengah partai
3.      Multi partai dengan satu partai yang dominan
4.      Multi partai tanpa partai yang dominan
Giovani Sartori
Jumlah partai dan jarak ideologi
1.      Sistem 2 partai
2.      Pluralisme moderat
3.      Pluralisme terpolarisasi
4.      Sistem partai yang berkuasa
(http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-dan-partai-politik.html)
Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian. Maurice Duverger melakukannya menurut jumlah partai, Robert Dahl menurut skala kompetisi yang opositif, Blondel melakukan menurut ukuran jumlah dan besar partai secara relatif dan Giovani Sartori menurut jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai tersebut.
B.     Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik.                Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang – undangan setidak – tidaknya mengandung  tiga variabel pokok, yaitu penyuaran (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan (Ramlan, 1992 : 177). Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan alam.
1.      Formula Pemilihan
Fomula pemilihan, maksudnya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula di bedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralis (perolehan suara lebih banyak dari yang lain), formula mayoritas (perolehan suara 50% +1), formula perwakilan berimbang (jmlah perolehan suara dibagi dengan jumlah kursi yang diterapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan)
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, sistem pemilihan penting karena beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan mempunyai konsekuensi-konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini dapat menjamin tingkat proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu yang lain
Kedua, sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan dibentuk, apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu partai atau koalisi antar partai. Sistem pemilihan proporsional misalnya, cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai dibanding sistem pemilihan lainnya
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada bentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam sistem kepartaian. Sistem pemilu proporsional diyakini cenderung menghasilkan sistem banyak partai dibandingkan sistem kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara internal dapat memaksa para wakil terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya, sehingga tingkat akuntabilitas politiknya tinggi
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik. Misalnya sistem pemilihan proporsional cenderung menciptakan fragmentasi partai-partai politik dibandingkan sistem pemilihan yang lain.
Keenam, sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partisipasi politik warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang menerapkan sistem pendaftaran pemilihan secara aktif (pemilih mendaftarkan diri ke panitia pemilihan) menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk di manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah demokrasi disuatu negara, hal itu dapat dilakukan dengan mudah melalui perubahan sistem pemilihannya
Kedelapan, sistem pemilihan dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya. Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai tolok ukur demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang akurat, khususnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana sebenarnya kerangka kerja masing-masing sistem pemilihan dan perlu diperhatikan juga apa implikasi masing-masing sistem pemilihan tersebut bagi kehidupan politik di suatu negara.
Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memnag terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

2.      Sistem Perwakilan Berimbang
Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kelebihan, diantaranya :
Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan;
Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;
Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :
a.       Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru.
b.      Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian seseorang.
c.       Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
d.      Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka.
e.       Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan. Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar.
Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :
a)      Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;
b)      Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;
c)      Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain;
d)     Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.
3. Sistem Distrik
Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Kelebihan Sistem Distrik :
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting;
a.       Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah.
b.      Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
c.       Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.
Kekurangan Sistem Distrik :
a.       Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas.
b.      Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara yang mendukungnya(banyak suara yang hilang).
c.       Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.
Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi :
a)      Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
b)      Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999, Halaman 25)

C.    Hubungan antara Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu dan Tertib Politik (Politik Order)
Merujuk pada proposisi yang dikemukan oleh Maurice Duverger dan Robert Michels, pilihan suatu masyarakat pada sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan sistem pemilu yang sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki kemungkinan untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang memiliki stabilitas politik “ political order”. Namun sebaliknya, kesepakatan masyarakat untuk menggunakan suatu sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan suatu sistem pemilu yang tidak sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki peluang untuk melahirkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil.
            Secara lebih detail hubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemilu, backgourd masyarakat, dan stabilitas politik dapat dielaborasi dalam enam hipotesis sebagai berikut:
a)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik yang diterapkan pada masyarakat yang backgroundnya homogen, dari sisi etnis, aliran pemikiran politik, agama memiliki peluang besar untuk menghasilkan stabilitas politik.
b)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakaat yang memiliki background heterogen memiliki kecederungan untuk menghasilkan kehidupan politik yang stabil. Namun, memungkinkan aspirasi politik masyarakat yang heterogen yang tidak tertampung oleh dua partai politik.
c)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang background heterogen memiliki peluang lebih besar pada kehidupan politik yang kurang stabil, terutama pada awal perkembangannya.
d)     Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan model distrik pada masyarakat yang backgroundnya homogen akan memiliki kecenderungan menuju pada kehidupan politik yang bergerak ke arah stabilitas. Hal tersebut dikarenakan akan mendorong terjadinya evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem dua partai.
e)      Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakat yang background heterogen akan memiliki kecenderungan menghasilkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil. Hal tersebut tidak mendorong untuk terjadi evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem kepartaian yang sederhana. (sistem dua partai).
f)       Sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang backgroundnya heterogen, memiliki kecenderungan untuk menghasilkan stabilitas politik, namun memiliki peluang yang menimbulkan ketidakpuasan politik.
Sejarah perkembangan sistem pemilu secara umum telah berkembang melalui tiga sistem yaitu;
1.      Pluralisme- Mayoritas (di dalamnya meliputi FPTP, Block Vote, TRS dan Alternative Vote)
2.      Semi Reprensentasi Proposional ( yang terdiri dari LIST, MMP, STV).
3.      Sistem Proposional ( yang terdiri dari dalam Handbook of Voter Turnout 1945-1997:A global Report on Political Partisipation, Internasional IDEA dinyatakan bahwa pada tahun 1945, sebanyak 80% negara-negara Demokrasi menggunakan sistem Representatif Proposional (RP). Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, menggunakan Sistem First Past the Post (FPTP) ; Kebanyakkan Negara-Negara Eropa menggunakkan Two Round System (TRS). Pada 1950 Jepang menggunakan Singgle Non-Transforrable Vote (SNTV), sedangkan Jerman, sesudah perang dunia kedua, menggunakan Mixed Member Protisonal (MMP).
Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan  pemilu bagi masyarakat yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.
Untuk kondisi di Indonesia, yang masyarakatnya memiliki background aliran pemikiran politik, etnis, agama, budaya yang heterogen secara teoritis jika ingin menghasilkan suatu tata kehidupan politik yang stabil adanya political order, maka perlu pertimbangan untuk diterapkan sistem pemilu dengan model distrik. Penerapan sistem pemilu model distrik memberi dorongan untuk terjadinya evalusi sistem kepartaian banyak partai kepada dua sietem partai. Jika berhasil didorong berjalannya evolusi sistem kepartaian  menuju sistem dua partai melalui penerapan sistem pemilu distrik maka kehidupan politik di Indonesia memiliki kemungkinan lebih besar untuk  mencapai kestabilan politik. Namun demikian, kondisi sebaliknya akan sering hadir jika proposisi tersebut tidak dapat dipenuhi. Kehidupan politik di Indonesia sulit diharapkan untuk mampu menghadirkan suatu tatanan politik yang stabil, jika tidak terjadi kombinasi yang harmonis antara pilihan sistem kepartaian dengan sistem pemilu yang sesuaikan dengan background masyarakat Indonesia.
Kiranya perlu diberikan penjelasan mengapa pemilu dengan sistem distrik dengan berbagai variannya yang merujuk pada model sistem pluralisme-mayoritas, memberikan dorongan untuk secara alamiah terjadinya pengurangan jumlah partai yang ikut berkompetisi dalam pemilu?. Pelaksanaan kegiatan yang merujuk pada model pluralitas-mayoritas yang lebih dikenal dengan sistem distrik memiliki prinsip bahwa jumlah wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan politik seperti parlemen (DPR) sama dengan jumlah distrik (daerah pemilihan yang ada pada suatu negara , sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh kekuatan politik (partai politik) yang ada pada suatu negara. Setiap satu distrik daerah pemilihan ditentukan hanya mempunyai satu wakil rakyat yang akan duduk di parlemen.
Dengan ketentuan sebagaimana dirujuk dalam sistem distrik tersebut, maka disetiap distrik hanya ada satu partai politik yang memiliki wakil parlemen. Penerapan model tersebut secara berulang-ulang mendorong untuk memunculkan suatu kondisi kehidupan kepartaian, dimana hanya ada satu sampai dua partai yang mendapatkan dukungan yang kuat di suatu distrik pemilu. Sementara itu, pemilu tidak berhasil mendatangkan dukungan yang memadai secara alamiah akan mengalami kematian.
Bukti empiris dari negara-negara yang mempraktikan model sistem distrik secara nasional, menunjukkan bahwa secara nasional akan lahir suatu kecenderungan lahirnya sistem dua partai, yakni hanya ada dua partai politik yang bisa eksis dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan politik nasional. Dengan terjadinya pengurangan jumlah partai politik yang memiliki wakil formal di lembaga parlemen, maka juga dapat mengurangi serta mereduksi sumber dan istrumen untuk terjadinya berbagai macam konflik dalam suatu masyarakat, khususnya konflik politik. Pengurangan jumlah partai secara alamiah melalui penerapan sistem distrik juga mampu memberikan iklim agar berbagai spektrum aliran pemikiran politik yang memiliki kedekatan ideologi berkumpul pada satu partai politik tertentu.
Jika kondisi tersebut dapat terwujud hal itu berati juga salah satu fungsi partai politik untuk menjalankan fungsi manajemen konflik dapat diperankan. Dengan demikian, kiranya dapat dinyatakan bahwa pilihan untuk menggunakan model sistem peilu distrik memberikan peluang pada partai politik untuk memperkuat fungsi-fungsinya sebagai pengatur konflik. Implikasi dan kondisi partai politik memiliki konstribusi bentuk menghadirkan adanya suatu tertib politik-stabilitas kehidupan politik.
Dan pemaparan diatas, kiranya dapat ditarik suatu pemahaman bahwa antara sistem pemilu dengan sistem kepartaian dan stabilitas politik memiliki hubungan. Sebagaimana telah diuraikan bahwa pilihan untuk menerapkan suatu sistem pemilu tertentu misalnya sistem pemilu distrik akan memiliki pengaruh pada munculnya sistem kepartaian yang dengan sistem dua partai. Sementara itu, pilihan untuk menerapkan sistem proposional akan memberi peluang untuk lahirnya sistem banyak partai pada suatu masyarakat yang secara sosial fragmentasi dan mamiliki aliran pemikiran politik, dengan perpedaan yang tajam, akan memberikan kemungkinan untuk sulit memberikan kontribusi bagi yang ada stabilitas politik.


BAB III
PENUTUP

Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik. Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.
Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan  pemilu bagi masyarakat yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cholisin. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Hatington, Samuel. 2004. Tertib Politik Pada masyarakat yang Sedang Berubah. Jakarta: Raja Grafindo.
Hidayat, Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.
Nasiwan. 2009. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Rahman. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanit, Arbi. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.