Sejarah Aceh : Keberagaman Sejak Pasai

Sejarah Aceh : Keberagaman Sejak Pasai



Orang boleh bertikai sejak kapan islam masuk ke Indonesia itu urusan seminar dan kajian akademik di bidang sejarah. Kajian aplikatif  di bidang sejarah lain lagi ceritanya. Kajian itu bercerita tetang proses pembentukan masyarakat aceh yang muslim. Yang masih murni muslim hingga kini.
Apakah gerangan yang menarik dari prose situ, padahal orang sudah tahu bagaimana ia berjalan? Bukankah semua orang aceh tahu ‘adat bak poteumeurue hom hukom bak syiah kuala?
Memang tidak ada yang anehm dan lagi pula yang menarik bukanlah harus sesuatu yang aneh. Yang biasa –biasa saja akan menarik juga, kalau dilihat dari sudut pandang yang tepat. Ibarat maskan yang lezat, walau sudah biasapun tetap terasa sedap. Begitu pula proses pertumbuhan masyarakat muslim di aceh sejak masa dahulu itu.
Masyarakat muslim di aceh tumbuh dari tradisi kecil orangkampung di pantai pantai aceh. Islam datang dasn dianut orang kampong. Penganjur pertamanya menurut sementara sumber tertulis (seperti kitab Al-Lata’if), adalah sayid jamaluddin bin Husain. Anak cucunya mendirikan kerajaan yang berdiri di aceh itu tumbuh dari kesadaran agama, tanpa terlalu dicampuri oleh faktor sejarah sebelumnya.
Pola aceh’ itu tentu jauh berbeda dari pola Malaka atau Bugis. Di kedua kawasan itu, Islam datang ketika sudah ada kerajaan kuat berdiri dengan tegar. Adat sebelum Islam sudah merasuk ke dalam pola kehidupan pusat kekuasaan. Melalui perkawinan dan persekutuan politik atau ekonomi, lambat laun ketentuan-ketentuan Islam diserap oleh pusat kekuasaan. Warna islam berjalan seiring dengan warna adat, bukannya membaur seperti di aceh. Pembauran yang secara tepat ditampilkan oleh tari seudati. Siapakah yang bisa membedakan agama dari adat dalam tarian (kesenian keagamaan) itu?
Pola aceh itu ternyata juga lain dari pola Minagkabau’ yangkemudian berkembang di sumatera barat. Di kawasan itu, adat bertempur melawan agama, memperebutkan hegemoni dalam mengundang ketentuan agama. Perang paderi yang berlangsung enam belas tahun (1822-1838) akhirnya menghasilkan sesuatu yang aneh.ketentuan agama berlaku untuk sebagian sisi kehidupan masyarakat, adat berlaku di sisi yang lain. Terlepas dari pameo adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah, dalam kenyataan masyarakat Minang masih berstruktur matriarkat.
Pola jawa’ bahkan lebih jauh lagi, berkebalikan dari pola aceh itu. Sembari menyatakan diri kalikpatolah ing tanah jawi dan sayidin panatagama’ (khafilah Allah di tanah jawa dan penguasa agama, para raja jawa tetap saja pada adat se mula. Secara proforma, sang raja mendirikan mesjid agung kraton, di barat alun-alun kerajaan. Ke temapt itu ia berziarahj setahun sekali, membuat acara‘grebek mulud’ (perayaan mauled) atau dua kali bersembahyang di dalamnya, di hari Idil Fitri dan Idil Adha.
Selebihnya diatur dengan cara oran jawa. Termasuk paham wahdaniyah yang berujung pada manunggaling kawulan gusti (bersatunya hamba dan tuhan). Al-Hallaj dibakar karena menyebarkan paham itu, dan (menurut legenda) syekh Siti Jenar (Tanah Merah) dihkum mati para wali Sembilan di jawa untuk alasan yang sama. Namun raja-raja jawa justeru berpegang teguh kepadanya.
Dalam situasi pemerintahan berpola jawa itu, pemerintah memiliki otonominya sendiri terhadap agama, dan kekuasaan agama berada di pinggiran (periferi) Kekuasaan-kekuasaan adat yang dipusatnya dikuasai paham cara orang jawa (kejawen) itu. Karenanya, ia menjadi keterbalikan dari pola yang berlaku di kawasan aceh, yang menyatukan adat dan agama. Pantas orang aceh selalu meraskan kesadaran keagamaan berkadar tinggi. Sedangkan orang jawa justeru berkesadara budaya daerah dalam kadar tinggi juga.
Memang telah panjang jalan yang dilalui islam, sejak penyebaranya dari kawasa naceh. Dan sangat beragam hasilnya, walaupun ajaran agamanya yang itu-itu juga. Namun keadaan masyarakatnya juteru berbeda. Sangat beragam pola polanya.
Dengan membentuk repulik Indonesia, keragaman itu diakui, bahkan dilestarikan, demi kesatuan dan persatuan bansa.
Anak-anak Jamaluddin bin Husien ternyata mampu mengemban tugas penyebaran agama mereka ke seluruh penjuru Nusantara. Bahkan ke Filipina Selatan, Thailand dan Indocina. Namun itu dilakukan, atau justeru dicapai, dengan melalui kesediaan menerima keragaman dalam pola pengaturan hubungan antara agama dan adat.


Sejarah Aceh : Hikayat, “Dibuang Sayang”!!!

Sejarah Aceh : Hikayat, “Dibuang Sayang”!!!



Ulasan berikut adalah tentang sisa-sisa halaman hikayat yang telah saya transliterasi/alih aksara ke huruf Latin. Ada tiga judul hikayat dalam kumpulan ini, yaitu Hikayat Banta Beuramsah, Hikayat Malem Diwa dan Hikayat Putroe Jeumpa. Saya sebut sisa hikayat, karena jumlah halamannya memang tidak lengkap lagi. Memang  dalam keadaan  demikianlah  hikayat-hikayat itu  di rumah saya di kampung  sejak dulu. Malah Hikayat Nabi Ibrahim hanya satu lembar kertas/dua halaman tersimpan bertahun-tahun di rumah saya di sana. Sayangnya, setelah di Banda Aceh ( mungkin lantaran banjir tsunami!), kini lembaran Hikayat Nabi Ibrahim itu tidak saya jumpai lagi.
Satu hal yang mendorong saya menyalin hikayat ini ke aksara Latin adalah isinya terkait dengan sejarah Aceh. Begitu pendapat para ahli manuskrip Aceh seperti Prof. A.Hasjmy dan H.M. Zainuddin. Hal ini memang membutuhkan penelitian lebih lanjut di masa mendatang. Misalnya, A.Hasjmy menyebutkan, peristiwa dalam hikayat Banta Beuransah terjadi dalam Kerajaan Aceh Darussalam dan hikayat itu ditulis pada masa Kerajaan Aceh Darussalam (Baca buku: A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah). Dalam ucapan hari-hari, ejaan nama hikayat ini memang Hikayat Banta Beuransah, namun saya menyalinnya sesuai dengan ejaan asli dalam naskah saya yaitu Bangta Beuramsah, yang saya ubah ke Banta Beuramsah.
Hikayat Malem Diwa juga terkait sejarah Aceh, yakni Sejarah Kerajaan Samudra-Pasai. Hal inipun perlu pengkajian selanjutnya. Begitu pula dengan Hikayat Putroe Jeumpa. Kata orang, hikayat ini tersangkut dengan Sejarah Kerajaan Jeumpa di sekitar kota Bireuen. Apalagi jika dipadukan dengan Hikayat Raja Jeumpa, tentu kesejarahan hikayat ini(mungkin?) semakin jelas. Malah di internet, pernah saya baca artikel” Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam tertua di Nusantara”.
Namun, yang paling menyentuh batin saya hingga terpancing menyalin sisa-sisa ketiga  hikayat
Adalah kesanggupan hikayat ini menjaga keselamatan diri mereka sendiri. Hikayat Malem Diwa, misalnya; dia telah mampu melestarikan dirinya, walaupun hanya dua halaman/empat lembar. Dengan kertas yang cukup tebal, umurnya mungkin berabad, sudah dimakan rayap( bahasa Aceh: pite) dengan lobang bundar dan memanjang di sana-sini, namun masih selamat.
Hikayat Banta Beuramsah, dengan kertas lebih tipis dan lembut – mungkin akibat terendam air tsunami, banyak halamannya yang melengket di sisi ujung/pinggiran. Perlu waktu tunggu hampir tujuh tahun agar dapat melepas lengketan/dempetan ini dengan selamat. Pernah saya berusaha melepasnya sebelum itu, namun tak berhasil karena dapat merobekkan kertas.
Begitu pula dengan Hikayat Putroe Jeumpa. Halaman Hikayat ini paling banyak yang berdempet dengan lumpur tsunami. Setelah hampir tujuh tahun ( Saat Tsunami Aceh, Minggu, 26 Desember 2004 s/d awal November 2011 – Liburan Hari Raya ‘Idul Adha, 6 November 2011 – barulah lengketan – meukeumat itu dapat ditarik dengan selamat. Namun ada satu/separuh  halaman lagi yang tetap tak dapat dibuka dempetannya, yang mungkin memerlukan waktu tujuh tahun lagi buat menunggu masa keringnya lumpur itu!.
Etos Kerja Manusia Aceh

Etos Kerja Manusia Aceh




BUDAYA ACEH memberi  nilai amat tinggi terhadap kerja atau pekerjaan. Penghargaan tertinggi, bahkan menjurus ekstrim terungkap dalam sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) : “Tukok jok tukok u, nabuet nabu! (pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau ada kerja).
Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang berkeyakinan bahwa Allah SWT telah “menaburkan” rezeki bagi segenap makhluk-Nya di muka bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya. “meunyo hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau bukan lewat usaha, tak mungkin harta jatuh dari langit/ atas).
Bila mendambakan keberhasilan; berusahalah sekuat tenaga, peras keringat, banting tulang;- sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh secara “gratis”, dengan berdiam diri atau “duek teuseupok meulhok ngon jaroe atau pun lale tumpang keueng” duduk berpangku tangan atau menopang dagu). “Meugrak jaroe meu ek gigoe” (singsingkan lengan, dapat mangan; makan). “Rezeki ngon tagagah, tuah ngon tamita. Tuah meubagi-bagi raseuki meujeumba-jeumba” (Rezeki harus diusahakan, keberuntungan-tuah; mesti dicari. Pada keberuntungan takdir Tuhan-lah yang menentukan; begitu pula dengan hal rezeki).
Pepatah Aceh di atas menekankan, bahwa dalam soal beruntung atau malang nasib insan di dunia, takdir Tuhan juga berperan. Ini pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa, akibat kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam kegiatan berusaha.
Pendorong
Rangsangan utama yang menggairahkan orang mencari nafkah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perihal pendorong utama ini, secara guyon (meukra) sering diucapkan para penjual obat kaki lima di Aceh, bahwa ia berkelana-menjual obat kemana-mana hanyalah gara-gara “pruet ruhung, ‘atra nyan’ meugantung” (perut yang selalu minta makan dan perlu beri makan anak-istri).
Selain faktor pemenuhan kebutuhan hidup, banyak pula faktor lainnya yang ikut menggairahkan giatnya orang mencari materi. Dorongan agama, pengaruh lingkungan, pandangan masyarakat termasuklah perangsang-perangsang yang menentukan.
“Ureueng kaya mulia bak wareh, ureueng gasien meukuwien lam tapeh” (Yang kaya dimuliakan dan yang miskin disingkirkan). Ungkapan diatas ‘mengingatkan’ bahwa volume pemilikan harta benda sangat menentukan tinggi rendahnya status seseorang dalam pandangan manusia Aceh (orang Aceh) pada umumnya. Lantas, apakah masyarakat Aceh pendamba harta materialis? Malah dalam ‘Meutiara kata’ lebih dinyatakan: segala urusan tergantung uang. Terdapat pula pepatah Aceh yang bernada mengejek seorang lelaki, “Hana peng hana inong” (Tak punya uang, tak bakal mendapat perempuan; isteri).
Benci Pemalas
Sikap budaya Aceh pada dasarnya benci kepada orang malas. Sebaliknya; sangat menghargai pada orang-orang yang rajin bekerja.
Lukisan sikap budaya Aceh terhadap kedua jenis perilaku manusia ini; tercermin lewat Kristal-kristal budaya yang kita wariskan dari endatu (nenek moyang)  kita sendiri.
“Peue dale dahoh siuroe suntoek, kon tabeudoh laju tajak mita boh-boh sidom” (Kerjamu melulu hanya nongkrong setiap waktu, kan lebih baik berangkat mencari ‘telur-telur semut’).
“Bak sibeu-o uteuen luah, bak si malaih raya dawa” (Watak utama si pemalas adalah mengelak kerja dengan bertengkar mencari-cari alasan).
Banyak sekali ungkapan yang bernada meremehkan si pemalas dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari. “Teguran” atau nasehat ini biasanya terselip dalam pembicaraan antar anggota keluarga siapapun dalam pergaulan para warga desa umumnya.
“Peue lale duek dukhoh siuroe seuntok” (kenapa hanya nongkrong saban hari). “Hana peue shot buleuen ngon ujong sadeuep” (Tak usah menjolok bulan dengan ujung sabit; kerja sia-sia). “Bek preh dahoh” (Tak perlu banyak tunggu!) dan “bek preh geulupak gob top” (jangan mengharap belas kasihan orang).
Kesemua pribahasa Aceh tersebut diatas adalah sindiran tajam yang “menusuk hati” bagi orang yang berperilaku demikian. Kritik sosial ini akan lebih cepat mencapai sasaran, terutama bagi mereka yang memiliki “mata hati” yang jernih dan terang. Sementara bagi insan-insan yang “klop prip dan gai bugai” (tak termakan lagi nasehat); petuah sebaik apapun tak bakal lagi menggugah mereka, terkecuali dengan siraman taufik serta hidayah dari Allah SWT.
Penghargaan kepada mereka yang rajin (Aceh : Jumot) juga sering tersentil dalam percakapan sehari-hari. “Nyang meurot cit leumo tummbon” (orang kaya, memang orang-orang rajin).
“Meunyoe na tatem mita, adak han kaya taduek seunang” (Asal mau berusaha kalaupun tak kaya; cukuplah makan). Para pedagang obat kaki lima, biasa pula mengawali gelaran dagangannya dengan pepatah: “Tapak jak urat nari, na tajak na raseuki” (Kaki berjalan, otot-urat melenggang; insya Allah rezeki pun dapat).
Biarpun memiliki pupuk budaya kerja yang menyanjung orang rajin serta mengutuk si pemalas, bukan berarti sibeue-o si-iet (pemalas) itu tidak mempunyai tempat sandaran kemalasannya. Di antara Hadih Maja (peribahasa) Aceh yang ‘mendukung’ sifat malas, yaitu: “Atra sikai hanjeuet sicupak, beurang ho tajak ka dumnan kada” (Soal rezeki, sudah ditentukan Tuhan-tak bisa diubah-ubah lagi). “Keupeue lethat atra, peue na tapeulob lam uruek” (Untuk apa berharta banyak, kan’ tidak dibawa ke kubur,” cetus si kakek yang berkehidupan papa-merana.



Penghayatan
Etos berarti sikap, kehendak, kebiasaan, watak, cara berbuat, dan perhatian. Jadi, etos adalah suatu karakter yang sudah  mendarah-daging atau dalam istilah Aceh disebut ‘jaban droe’ (watak diri). Dalam hal etos kerja bermakna; sikap lahir-bathin terhadap pekerjaan apa saja yang dilakukan.
Menyimak sokongan budaya Aceh terhadap kerja yang sangat positif , maka kita boleh berkesimpulan bahwa etos-kerja orang Aceh cukup baik. Timbul pertanyaan, apakah sifat yang positif ini  terjelma dalam kenyataan hidup  sehari-hari???. Memang benar, walaupun kadang kala bisa muncul suasana pasang naik atau pasang surutnya.
Akibat tantangan yang bertubu-tubi yang tak sanggung diatasi, mulai dari sinilah berkecambahnya sifat malas menodai seseorang. Bila kemalasan ini terus berkembang terlalu lama, ia pun  mampu berobah watak seseorang menjadi berkarakter malas alias ‘beretos malas’.
Kenyataan beginilah, yang akhirnya menelorkan peribahasa: “Atra sikai hanjeuet sicupak, barang ho tajak ka dumnan kada”, yang mencerminkan rasa putus asa. Tetapi, jika selagi dini “penyakit malas” memperoleh obat mujarabnya; besar kemungkinan akan normal kembali. “Banyak faktor yang bisa menjadi ‘obat’bagi penyakit sosial (malas) tersebut. Termasuklah diantara resep yang manjur adalah punya harapan bahagia di masa depan/punya masa depan, terbuka kesempatan maju atau bakal sukses.
Dalam hal ini, campur tangan pihak-pihak yang “memiliki kekuatan dan kekuasaan”, sangatlah menentukan tercapainya keberhasilan yang didambakan, yakni terwujudnya Etos Kerja Positif/Rajin bagi kalangan masyarakat luas atau massa-rakyat.
Khusus bagi para petani, tentu harapan mereka tertumpu kepada harga hasil panen yang wajar di pasaran. Paling kurang, bisa imbang antara hasil-untung dengan modal serta tenaga yang telah dicurahkan. Pokoknya, “nilai tukar” barang hasil petani dari desa, tidak terlalu rendah berbanding harga barang-barang kebutuhan mereka asal ‘kota/pabrik industri’.
“Bak akhe donya on trieng meuhareuga” (Di zaman canggih, daun bambu pun bisa jadi duit), celoteh seorang nenek di pojok rumah; pertanda gembira. Akibatnya, terwujudlah  Etos Kerja Positif.
Semoga!!!.

Pendidikan di Aceh Harus Berbasis Penghargaan.

Pendidikan di Aceh Harus Berbasis Penghargaan.



Pendidikan di Aceh Harus Berbasis Penghargaan.

Banda Aceh - Pembenahan mutu pendidikan di Aceh harus berbasis penghargaan. Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten, serta Kepala Sekolah (Kepsek) diminta lebih terbuka dalam mengelola pendidikan Aceh.
Perilaku tersebut dianggap penting agar seorang guru merasa  lebih nyaman dalam bekerja. Keikutsertaan guru dianggap tonggak awal dan peningkatan mutu, serta upaya untuk menarik simpati masyarakat agar bisa sama-sama berpikir untuk peningkatan mutu pendidikan di Aceh.
“Beri guru penghargaan dalam bekerja. Keterbukaan dalam pengelolaan dana pendidikan akan membuat guru lebih dihargai. Hal ini juga akan membuat mereka bekerja keras untuk mendidik siswa sehingga berujung pada peningkatan mutu,” ujar Praktisi Pendidikan Aceh, Salman Ishak.
Berikut analisis dari dari sebuah sumber bacaan cuplikan wawancara dengan Salman Ishak:
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan Dinas Pendidikan Aceh untuk tahun 2013 ?
Saya pikir, harus fokus pada peningkatan mutu. Kalau bangunan (fasilitas pendidikan-red) sudah lebih dari memadai. Demikian juga dengan insentif kesejahteraan guru, sudah lumayan. Dengan kata lain, tinggal mutu yang harus diperbaiki. 
Saran Anda ?
Berikan penghargaan kepada guru. Ciptakan iklim pendidikan yang sehat. Dimana, dinas menghargai sekolah, dan Kepsek menghargai guru. Kalau hal itu terjadi, maka guru akan betah mengajar sehingga dengan sendirinya target pembaikan mutu tercapai.
Selama ini, bukankah hal itu sudah ada ?
Ada, tapi masih sangat minim. Masih dilakukan oleh individu-individu yang mengerti. Mungkin hal ini perlu diterapkan secara menyeluruh. Tidak hanya untuk provinsi, tapi juga seluruh kabupaten kota, serta sekolah sebagai unit lembaga pendidikan terkecil.
Cara menumbuhkan sikap menghargai tadi ?
Dari hal-hal yang kecil, seperti memberikan penghargaan pada guru yang berprestasi, sekolah yang prestasi bagus, serta siswa yang memiliki nilai di atas rata-rata.
Pola pengelolaan pendidikan, dimulai dari sekolah, harus diubah. Jika biasanya, Kepala Sekolah tertutup dalam mengelola anggaran pendidikan, baik dana BOS maupun lainnya, ke depan hal ini perlu diubah dengan melibatkan guru.
Perilaku ini penting agar guru merasa  lebih nyaman dalam bekerja. Keikutsertaan guru merupakan tonggak awal dan peningkatan mutu, serta upaya untuk menarik simpati masyarakat agar bisa sama-sama berpikir untuk peningkatan mutu pendidikan di Aceh.
Pihak-pihak mana saja yang bertanggungjawab dalam menumbuhkan sikap ini ?
Semua pihak yang bergelut di dunia pendidikan. Termasuk dua lembaga teratas di Aceh yang memiliki peran vital. Orang tua juga harus dilibatkan. Hal ini untuk meciptakan pendidikan yang berkarakter di Aceh.
Jangan nanti, begitu ada salah sedikit, guru dan sekolah lanngsung disalahkan. Beri ruang bagi guru, sekolah, serta dinas untuk bekerja. Ini juga harus mendapat perhatian semua, termasuk para jurnalis.
Kalau maksud Anda dua lembaga tadi, itu yang mana ?
Dinas Pendidikan Aceh dan Kemenag. Selamat ini Kemenag jarang disebutkan. Padahal, mereka memiliki peran yang tak kalah penting dalam peningkatan mutu pendidikan Aceh. Dalam setiap kegiatan, mestinya Kemenag selalu diajak serta. 
Kalau MPD ?
MPD tugasnya memberikan saran kepada Dinas Pendidikan Aceh. Selain itu, juga membantu dinas dalam hal-hak khusus. Semasa saya masih di MPD, kita sudah membentuk forum bersama dengan Dinas Pendidikan Aceh dan Kemenang.
Forum ini membahas persoalan-persoalan pendidikan. Dari sini, kemudian akan melahirkan solusi-solusi kritis dalam membenahi pendidikan Aceh.
Apakah selama ini peran forum bersama ini sudah cukup baik ?
Ya, tapi masih banyak yang perlu ditingkatkan. Terutama di peran MPD-nya. Dinas Pendidikan, Kemenag serta MPD, adalah tiga lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Perpaduan ketiga lembaga ini akan memberikan dampak positif dalam pembaikan mutu pendidikan Aceh. 
Kalau hal lain yang perlu dilakukan apa?
Dinas Pendidikan Aceh harus mengambil peran kendali terhadap semua Dinas Pendidikan kabupaten kota. Ini penting agar arah pendidikan Aceh sama. Selama ini, saya lihat hal itu tidak ada sama sekali. 
Dinas Pendidikan provinsi jalan sendiri, demikian juga dengan Dinas Pendidikan kabupaten kota. Akhirnya, ya seperti sekarang ini.
Bukankah kita menganut sistem desentralisasi pendidikan ?
Ya, tapi maksud saya disini adalah kendali dalam hal-hal teknis, bukan sistem. Contoh, acuan dalam memilih Kepsek dan pengawas. Acuan ini harus menjadi patokan bagi Dinas Pendidikan kabupaten kota. Kalau tidak, apa juga namanya Dinas Pendidikan Aceh..!
Pendidikan Aceh harus mengarah pada titik yang sama. Hal inilah yang perlu dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh, seperti yang saya katakan tadi.