BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Partai politik lahir untuk pertama
kalinya di negara-negara Eropa Barat. Partai politik pada umumnya merupakan
manifestasi dari pada sistem politik yang sudah modern atau dalam proses
moedrnisasi diri. Dengan timbulnya dan berkembangnya suatu gagasan bahwa rakyat
merupakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam
proses kegiatan politik, maka partai politik telah terlahir secara spontan dan
berkembang menjadi sebuah jembatan penghunbung antara rakyat di satu fihak dan
pemerintah di fihak lain.
Seperti apa yamg telah diketahui
bahwa setiap sistem politik mempunyai cara-cara tertentu didalam merumuskan dan
menangapi tuntutan ataupun kepentingan yang datang dari masyarakat. Kepentingan
dari individu atau sekelompok orang di dalam masyarakat itu di salurkan kepada
badan-badan politik atau pemerintah. Pembentukan kelompok-kelompok ini di
karenakan mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama atau hampir sama.
Salah satu wadah guina menyalurkan kepentingan-kepentingan in adalah melalui
partai politik yang juga merupakan saluran yang dapat dipergunakan oleh
kelompok-kelompok kepentigan untuk mengkonsumsikan kepentingan atau
tuntutannya.
Di negara-negara yang menganut faham
demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa
rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang
nantinya akan menentukan kebijaksanaaan umum.( Public Policy ). Sedangkan di
negara-negar totaliter, gagasan atau ide mengenai partisipasi rakyat didasari
pandangan elite politik yaitu bahwa rakyat memerlukan bimbingan dan kendati
agar dapat di capai stabilitas yang langgeng / abadi. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka partain politik merupakan alat yang baik.
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan
politik juga berkembangdiluar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia
pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa
pemilihan umum. Oleh karena itu dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai
golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen lambat laun
berusaha memperkembangkan organisasi massa, dan dengan demikian
terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam
parlemen dengan panitia pemilihan yang sefaham dan sekepentingan, dan lahirlah
partai politik.
Dalam perkembangan selanjutnya di
dunia barat tinbul pula partai yang lahir diluar parlemen. Partai-partai ini
bersandar pada suatu ideologi tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat,
dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disipllin partai lebih kuat dan
pimpinan lebih bersifat terpusat.
Sejarah berkembangnya suatu bangsa
tidak terlepas dari perjalanan dari bangsa tersebut untuk menentukan sistem
politik yang diterapkannya. Dalam perjalanan menentukan sistem politik yang
ideal pastilah bangsa tersebut telah banyak menemui berbagai kendala maupun
hambatan yang dihadapi, Namun dengan berbagai kendala inilah maka bangsa
tersebut akan menemukan sistem politiknya yang ideal.
Salah satu wadah guna menyalurkan
kepentingan-kepentingan ini adalah partai-partai politik yang digunakan untuk
mengkonsumsikan kepentingan ataupun tuntutannya. Maka dari itu dalam membahas
sistem politik dalam suatu Negara, maka tidak lepas dari bahasan mengenai
partai politik tersebut.
Sistem
kepartaian berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum. Dalam berbagai
literatur ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan
sebagai suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan
seluruhnya atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang
untuk menduduki jabatan dalam organisasi itu sendiri. Pemilihan imum berfungsi
sebagai legimitasi atau pengabsahan dalam penugasan seseorang pada jabatan
tertentu di dalam jabatan-jabatan politis di pemerintahan. Aspek penting yang
lain pada pemilihan umum adalah partisipasi individu dalam pemilihan dan
otoritas abash yang diberikan kepada mereka yang terpilih. Dalam kaitan ini
organisasi kepartaian selain berfungsi pemersatu berbagai kepentingan juga
berfungsi sebagai wadah untuk membina karir politik sekarang.
Pemilihan umum
merupakan sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat, dalam rangka menentukan,
mengatur, menyelenggarakan dan mengurus kehidupan bersama dalam sebuah Negara
yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sarana demokrasi, pemilihan umum memang
menjadi harapan bangsa Indonesia dalam rangka membentuk pemerintahan yang
mencerminkan dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Disamping
kegiatan pemilu untuk menyusun lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat untuk
mewujudkan suatu tata kehidupan yang dijiwai semangai Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, memilih wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi
hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan
mengembangkan kemerdekaan guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan
rakyat, maka tujuan pemilu adalah untuk menjamin kesinambungan pembangunan
nasional.
Dengan demikian
melalui pemilu dapat merupakan sarana untuk menjamin kehidupan dan kelestarian
Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena semua
kekuatan politik yang ada di negeri kita ini, yakni kontestan dalam pemilihan
umum tidak akan lagi mempermasalahkan Pancasila, baik sebagai ideology,
pandangan hidup, maupun sebagai dasar Negara sejalan dengan azas tunggal yang telah
disepakati.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan partai politik ?
2.
Apa saja klasifikasi Partai Politik ?
3.
Apa yang dimaksud Sistem Pemilu ?
4.
Apa saja jenis Sistem Pemilu ?
C. Tujuan Makalah
1.
Memperbaiki nilai mata kuliah Pengantar Ilmu Politik.
2. Melatih
diri dalam pembuatan makalah
3. Membuka wawasan
mahasiswa tentang sistem Kepartaian dan Pemilu
D. Manfaat Makalah
1. Mengetahui lebih dalam tentang Sistem Pemilu dan
Sistem Kepartaian.
2. Mmberikan wawasan kepada mahasiswa tentang
duni perpolitikan
3. Terlatih bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PARTAI POLITIK
Yang dimaksud
dengan partai politik yaitu perkumpulan orang-orang yang seasas, sehaluan,
setujuan terutama dibidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau
struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang
terkemuka atau berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotannya. Partai politik merupakan
wadah untuk menyalurkan aspirasi maupun kepentingan masyarakat dalam dunia
politik.
Salah satu
wadah guna menyalurkan kepentingan-kepentingan ini adalah partai-partai politik
yang digunakan untuk mengkonsumsikan kepentingan ataupun tuntutannya. Maka dari
itu dalam membahas sistem politik dalam suatu Negara, maka tidak lepas dari
bahasan mengenai partai politik tersebut.
Ada beberapa pengertian partai politik yang
dikemukakan oleh pakar ilmu politik yang diantaranya adalah :
1.
Carl
J. Friedrich (1967 : 419) menurutnya Partai politik adalah “
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil” ( A political party
is a group of human beings, stabily organized with the further objective of
securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the
further objective of giving to members of the party, through such control idea
and material benefits and advantages). Hal tersebut termuat dalam tulisannya
yang berjudul Constitutional Government and Democracy : Theory and practice in
Europe an America.
2.
Sigmund
Neumann (1963 : 352) dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan
definisi bahwa “partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik
yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
yang mempunyai pandangan berbeda” (A political party is the articulste
organization of society’s active political agents, those who are concerned with
the control of governmental power and who compete for popular support with
another group afr groups holding divergent views)
3.
R.H Soltau
(1961 : 199)dalam bukunya An Introduction to politics memberikan definisi bahwa
“Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan
kekuasaanya untuk memilih bertujuan untuk menguiasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka” ( Political party is a group of citizen
more or les organized, who act as apolitical unit anda who, by the use of their
voting power, aim to control the government and carry out their general
politicies).
Dari definisi-definisi para ahli diatas mengenai partai politik, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah
suatu kelompok masyarakat atau warga negara yang telah terorganisasi, dimana
para anggota yang terhimpun itu mempunyai kesatuan cita-cita dan tujuan.
Berdasarkan pengertian-pengertian
diatas, sebenarnya dapat ditemukan empat unsur pokok dari partai politik yaitu
:
1.
Ada beberapa
perangkat yang melekat pada partai politik merupakan sekumpulan orang yang
terorganisasi.
2.
Partai
politik mempunyai tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
3.
Untuk
merealisasikan tujuan dari partai politik, maka partai politik bewrupaya untuk
memperoleh dukungan seluas-luasnya dari masyarakat lewat pemilihan umum.
4.
Partai
politik memiliki prinsip-prinsip yang telah disetujui bersama oleh
antar anggota partai.
B. Klasifikasi Partai Politik
Menurut
pendapat Prof. Miriam Budiharjo (1977 : 166-167) dalam bukunya yang berjudul
“Dasar-dasar Ilmu Politik” bahwa partai politik dapat diklasifikasikan
menjadi :
1)
Berdasarkan
dari segi komposisi dan fungsi keanggotaanya
a.
Partai massa
yaitu suatu partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keungggulan
jumlah anggota. Partai ini terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai
aliran politik dalam masyarakat yang bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan
suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Sehingga kelemahan dari partai
massa yaitu masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawahnya
cenderung untuk memaksakan kepenitngan masing-masing, terutama pada saat krisis
yang pada akibatnya persatuan partai dapat menjadi lemah atau hilang sama
sekali sehinnga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirdikan partai
baru.
b.
Partai kader
yaitu partai yang mementingkan ketaatan organisasi dan displin kerja dari
angggotanya. Pimpinan partai bisanya menjaga kemurnian doktrin politik yang
dianut dengan jalan menjgadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat
anggota yang menyeleweng dari gari dari garis partai yang telah ditetapkan.
2)
Berdasarkan
dari segi sifat dan orientasinya
a.
Partai
lindungan (patronage party)
Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun
organisasinya ditingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan
biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Maksud
utama ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkan.
Oleh karena itu, kegiatan kegiatannya hanya menjelang masa-masa pemilihan umum.
b.
Partai
ideologi atau partai azas
Biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan
dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon
anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi pimpinan disyaratkan lulus
melalui beberapa tahap percobaan.
Selain itu menurut Maurice Duverger
(1967 : 207 ) dalam bukunya yang berjudul Political parties berpendapat
bahwa sesungguhnya klasifikasi partai politik dapat di bedakan menjadi tiga
bentuk yaitu :
1. Sistem Partai Tunggal (One-Party System)
Yaitu bilamana dalam suatu negara hanya terdapat satu partaio politik saja yang
berperan dalam kurun waktu yang sangat lama, maka dapat dikatakan bahwa di
negara tersebut menganut sistem partai tunggal. Keberadaan sistem partai
tunggal ini disebabkan karena memang hanya terdapat satu partai yang dapat
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Atau mungkin pada awalnya terdapat
beberapa partai politik (multy atau two party system), namun dalam
perkembangannya hanya terdapat satu partai politik yang selalu memenangkan
mayoritas suara dalam setiap pemilu. Sehingga partai ini menjadi dominan
dan menjadikan partai politik yang lain hanya sekedar sebagai
pelengkap dan sama sekali tidak berperan.
Salah satu ciri dari keberadaan sistem partai tunggal ini dalam suatu negara
ialah bahwa kehidupan politik yang timbul penuh dengan suasana non-kompetitif.
Dalam keadaan yang seperti ini, maka partai politik yang lain akan sulit untuk
bersaing dengan partai yang selalu mendominasi kehidupan partai politik di
negara tersebut.
Sistem partai tunggal ini biasanya terdapat pada
negara-negara komunis, seperti Rusia dan China. Namun pola paretai ini juga
terdapat di beberapa negara Afrika seperti Ghana pada masa pemeriuntahan
Nkrumah, Guinea, Mali atau Pantai Gading.
2. Sistem Dwi Partai (two-party system)
Suatu negara dengan sistem dua partai berarti bahwa dalam negara tersebuut ada
dua partai atau lebih dari dua partai, akan tetapi yang memegang peranan
dominan hanya dua partai. Dalam sistem dua partai ini maka partai di bagi
menjadi dua yaitu partai yang besar, yang berkuasa, karena menang dalam
pemilihan umum, dinamakan mayority party, partai ini memegang tanggungb jawab
untuk urusan-urusan umum. Sedangkan lainnya dinamakan minority party atau
partai oposisi karena kalah dalam pemilu. Partai oposisi biasanya hanya
bertugas memeriksa dengan teliti dan mengkritik politik pemerintah. Negara
dengan sistem dua partai ini contohnya adalah Amerika Serikat dan Inggris.
3. Sistem Multi Partai (Multy-Party System)
Dalam negara dengan sistem multi partai, biasanya ada beberapa partai yang
hampir sama kekuatannya. Masing-masing partai mempertahankan suatu politik
tertentu tentang satu atau sejumlah persoalan-persoalan penting. Suatu negara
dengan sistem multi partai masing-masing pemilih mendukung partai yang hampir
sesuai dan mewakili pandangannya sendiri.
Dalam sistem multi partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk
membentuk suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalaisi dengan
partai lainnya. Demikian juga partai yang berkoalisi harus pandai mengadakan
kompromi dengan partai-partai lainnya lagi, karena selalu ada kemungkinan suatu
ketika dukungan partnernya dapat ditarik kembali.
C.
SISTEM PEMILU
Sistem
kepartaian berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum. Dalam berbagai
literatur ilmu politik disebutkan bahwa sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai
suatu prosedur yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya
atau sebagai anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki
jabatan dalam organisasi itu sendiri.
Penentuan sistem pemilihan umum sangat penting artinya guna menentukan
terciptanya pemilihan wakil rakyat yang representatif dan dimungkinkan adanya
jaminan bahwa aspirasi rakyat didengar oleh sistem politik yang berlaku.
Meskipun banyak variasinya, namun dalam khasanah ilmu politik dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu: Single Member Constituency atau lebih dikenal dengan
Sistem Distrik, dan yang kedua Proportional Resoresentation atau lebih dikenal
Sistem Perwakilan Berimbang (proporsional).
D. JENIS SISTEM PEMILU
Single Member Constituency atau sisten distrik ini dimaksudkan adalah
suatu sistem pemilihan yang mengatur bahwa setiap distrik atau daerah pemilihan
hanya diperebutkan satu kursi perwakilan. Oleh karena itu negara sdibagi
kedalam beberapa distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah
kursi yang diperebutkan atau yang tersedia di parlemen. Tiap distrik hanya
memilih seorang wakil untuk mewakili distrik yang bersangkutan di parlenen.
Oleh karena itu sistem ini juga disebut Single Member Constituency. Calon yang
terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak atau mayoritas. Oleh karena itu
juga disebut sistem mayoritas di distrik yang bersangkutan. Di dalam sistem ini
yang terpilih bukanpartainya melainkan langsung si calon. Kemudian si calon
akan bersaing secara langsung, sedangkan partainya sebagai pendukung akan
bersaing secara tidak langsung. Dalam sistem ini makin banyak calon yang tampil
maka akan semakin banyak suara yang terbuang.
Besarnya distrik ditentukan oleh jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Karena
tiap distrik hanya diwakili oleh satu maka suara dari pendukung calon lain yang
tidak mendapat suara mayoritas dianggap hilang. Dalam sistem ini partai dapat
tampil sebagai pemenang cukup hanya dengan memperoleh suara mayoritas tanpa memperhatikan
selisih dari pihak lawannya. Bentuk pemilihan seperti ini sering menimbulkan
over atau under representation. Keunggulan dari sistem ini adalah
dimungkinkannya adanya pengelompokan secara alamiah partai-partai kecil untuk
mengimbangi dominasi partai- partai besar. Mungkin saja tidak dalam pengelimpokkan permanen, tetapi hanya dalam bentuk
kerjasama biasa. Namun, adanya kemungkinan tersebut dapat menjamin stabilitas
politik. Alasannya, fragmentasi yang muncul dalam tubuh partai politik dapat
dihindari. Jangankan membuat partai baru, partai yang sudah adapun belum tentu
dapat bersaing dengan partai-partai besar.
Sedangkan kelemahan sistem ini adalah adanya kemungkinan aspirasi politik
masyarakat yang telanjur tersalurkan lewat partai politik kecil tidak dapat
terwakili, seiring dengan gagalnya si calon untuk memperoleh mayoritas suara
pemilih. Keadaan ini dapat menimbulkan distortion effect, yaitu terjadinya
kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh satu partai politik dengan
jumlah kursi yang tersedia. Keadaan ini justru dapat menimbulkan atau
memunculkan mayoritas tunggal dimana partai yang menang dapat memerintah tanpa
koalisi.
Sedangkan Proporsional Representation System menganut prosedur pemilihan
tidak langsung. Massa pemilih hanya diminta menjatuhkan pilihannya terhada
partai-partai yang ikut dalam pemilihan umum. Dalam system Proporsional ini
diterapkan prinsip kuota, yakni jumlah penduduk yang menggunakan hak pilihnya
dibagi jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang telah ditentukan. Dalam
system ini kesatuan administratof dipandang sebagai daerah pemillihan. Dari
daerah ini dapat dipilih lebih dari satu orang wakil dari satu Organisasi
Peserta Pemilihan Umum (OPP) yang ada berdasarkan jumlah perbandingan yang
telah disepakati. Oleh karena itu, pemenang dari daerah pemilihan umum tersebut
dapat lebih dari satu orang, sehingga system ini bias disebut dengan Multy
Member Constituency. Wakil ini ditunjuk olek OPP sehingga terkesan sebagai
wakil partai daripada wakil rakyat. Karena pada dasarnya menggunakan kesatuan
administrative, maka dimingkinkan adanya penggabungan suara oleh satu OPP
di dua tempat dalam daerah pemilihan yang sama. Tujuannya adalah untuk
memafaatkan sisa suara yang diperoleh di sutu daerah oleh daerah lain yang
membutuhkan. Dengan demikian system ini menjamin aspirasi masyarakat tercapai
tetapi belum tentu didengar.
Jumlah suara yang diperoleh OPP dijadikan landasan untuk menentukan jumlah
wakil di dalam parlemen. Karena itu, rasio suara yang diperoleh OPP didalam
pemilu sebanding dengan wakil mereka di dalam parlemen. Selain itu, system
proporsiolnal ini juga dianggap adail, sebab dapat dipastikan setiap segmen
dalam masyarakat pasti memiliki wakil. Secara formal system ini tidak kalah
dengan system distrik dan dapat menghindari terjadinya distortion effect. Di
samping sederet keunggulan di atas, system proporsional pun memiliki
kelemahan-kelemahan. Karena adanya jaminan bahwa tiap-tiap segmen dalam
masyarakat akan memperoleh seorang wakil, maka pragmantasi politik akan lebih
mudah terjadi. Dengan kata lain system ini kurang menjamin kestabilan politik.
Tiap kali terjadi konflik dalam tubuh parpol yang ada, seseorang cenderung
untuk membentuk partai politik yang baru. Hal ini secara potensial dapat
menyulitkan tercapainya mayoritas suara oleh satu partai politik dalam
pemilihan umum.
Kelemahan yang
lain dalam system proporsional dalam pemilihan umum adalah sangat memberikan
kedudukan yang sangat kuat terhadap pemimpin organisasi social politik
(orsospol) dalam penentuan calon-calonnya, di samping penggunaan dana yang
besar.
Dari uraian
singkat tersebut, dikemukakan perbedaan pokok antara system distrik dan system
proporsional dalam pemilihan umum adalah terletak pada prosedur pemilihan
langsung dan tidak langsung. Dan prinsip
yang dipergunakan sebagai dasar dalam penentuan para calon wakil rakyat.
Sedangkan John G. Grum berpendapat bahwa system distrik cenderung membentuk
system dua partai, sedangkan system proporsional cenderung membentuk system
multi partai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :
1. sistem pemilihan umum didefinisikan sebagai suatu prosedur
yang diatur dalam negara (organisasi) yang dengan seluruhnya atau sebagai
anggota organisasi tersebut memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan
dalam organisasi itu sendiri.
2.
partai
politik adalah suatu kelompok masyarakat atau warga negara yang telah
terorganisasi, dimana para anggota yang terhimpun itu mempunyai kesatuan
cita-cita dan tujuan.
3.
Partai
politik mempunyai berbagai macam klasifikasi yang di antaranya, adalah partai
tunggal, dwi partai, dan multi partai.
B. Saran
1. Semua yang terlibat dalam kegiatan politik
hendaknya mengikuti aturan yang berlaku sesuai yang ditetapkan Undang- Undang
agar tercipta keteraturan politik di Indonesia ini.
2. Aspirasi dan
suara rakyat tersampaikan dalam kegiatan politik maupun rekruitmen. Dengan kata lain pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku panduan mata kuliah
Pengantar Ilmu Politik. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Suprayitno. Pemilu
Indonesia Dari Masa Ke Masa.Teguh Pertiwi Mandiri. Jakarta.
1993
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sistem Kepartaian
1. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah
partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi
terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu
tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di
dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku,
agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan
kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai
politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut
mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang
mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum
disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling
banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam
sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut :
Tabel sistem kepartaian
|
Peneliti
|
Kriteria klasifikasi
|
Sistem kepartaian
|
Maurice Duverger
|
Jumlah partai
|
1.
Sistem dua partai
2.
Sistem multi partai
|
Robert Dahl
|
Kompetitif oposisi
|
1.
Kompetitif-murni
2.
Kompetitif-kooperatif
3.
Kompetitif koalisi
4.
Koalisi murni
|
Blondel
|
Jumlah partai : ukuran partai secara relatif
|
1.
Sistem 2 partai
2.
Sistem 2 partai dan setengah partai
3.
Multi partai dengan satu partai yang dominan
4. Multi partai
tanpa partai yang dominan
|
Giovani Sartori
|
Jumlah partai dan jarak
ideologi
|
1.
Sistem 2 partai
2.
Pluralisme moderat
3.
Pluralisme terpolarisasi
4.
Sistem partai yang berkuasa
|
(http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-dan-partai-politik.html)
Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melakukan klasifikasi sistem
kepartaian. Maurice Duverger melakukannya menurut jumlah partai, Robert Dahl
menurut skala kompetisi yang opositif, Blondel melakukan menurut ukuran jumlah
dan besar partai secara relatif dan Giovani Sartori menurut jumlah partai dan
jarak ideologi antar partai-partai tersebut.
B. Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat
menarik.
Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar
pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau
DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer
suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Namun,
ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem
pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang
pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang
sederhana, sistem pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian
suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang –
undangan setidak – tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu
penyuaran (balloting), distrik pemilihan (electoral district),
dan formula pemilihan (Ramlan, 1992 : 177). Sebagaimana dinyatakan dalam Undang
– Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan
Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4
). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi
di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun
legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi
politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan
operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan
rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan
alam.
1. Formula Pemilihan
Fomula pemilihan, maksudnya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa
atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan.
Formula di bedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralis (perolehan suara lebih
banyak dari yang lain), formula mayoritas (perolehan suara 50% +1), formula
perwakilan berimbang (jmlah perolehan suara dibagi dengan jumlah kursi yang
diterapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan)
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan,
sistem pemilihan penting karena beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil
pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini dapat menjamin tingkat
proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu yang lain
Kedua, sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis
kabinet yang akan dibentuk, apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu
partai atau koalisi antar partai. Sistem pemilihan proporsional misalnya,
cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai dibanding sistem pemilihan
lainnya
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada
bentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam
sistem kepartaian. Sistem pemilu proporsional diyakini cenderung menghasilkan
sistem banyak partai dibandingkan sistem kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada
akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap
pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara internal dapat memaksa para wakil
terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya, sehingga tingkat
akuntabilitas politiknya tinggi
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat
kohesi partai politik. Misalnya sistem pemilihan proporsional cenderung
menciptakan fragmentasi partai-partai politik dibandingkan sistem pemilihan
yang lain.
Keenam, sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan
tingkat partisipasi politik warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang
menerapkan sistem pendaftaran pemilihan secara aktif (pemilih mendaftarkan diri
ke panitia pemilihan) menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam
pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang
lebih mudah untuk di manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi
lainnya. Oleh karena itu, jika seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah
demokrasi disuatu negara, hal itu dapat dilakukan dengan mudah melalui
perubahan sistem pemilihannya
Kedelapan, sistem pemilihan dapat dimanipulasi melalui
berbagai peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya.
Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai tolok ukur
demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang akurat, khususnya
di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami
bagaimana sebenarnya kerangka kerja masing-masing sistem pemilihan dan perlu
diperhatikan juga apa implikasi masing-masing sistem pemilihan tersebut bagi
kehidupan politik di suatu negara.
Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar
tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota
DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang
diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi
anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih
orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak
mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan
dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional
dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan
seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat
itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak
memnag terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait
dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk
memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap
kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang
sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.
2. Sistem Perwakilan Berimbang
Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation)
terletak pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan
atau partai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini
negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah
pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah
pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin
dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya dukungan
masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam
parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki
kelebihan, diantaranya :
Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada
dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan
itu sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam
masing-masing daerah pemilihan;
Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan
untuk mendudukkan wakil dalam departemen. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara
ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada
kepentingan daerah;
Demikian pula Sistem
Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :
a. Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di
kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai
baru.
b. Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada
kepada daerah yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya
daripada kepribadian seseorang.
c.
Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih
mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai
terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk
memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi
semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
d.
Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering
dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan sistem daftar
(List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan
sistem daftar terbuka.
e.
Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan
satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon
yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan.
Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi
oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung
dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar.
Selain
itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :
a)
Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam
jumlah wakil DPR;
b)
Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah
untuk mendapat tempat di DPR;
c)
Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya
dalam hubungan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan
direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain;
d)
Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota
DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.
3.
Sistem Distrik
Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling
tua didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai
satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh
jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag
sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap
hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Kelebihan
Sistem Distrik :
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih
biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk
lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan
kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, karena dalam
pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang
penting;
a. Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah.
b. Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
c. Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai
mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas
nasional.
Kekurangan Sistem
Distrik :
a.
Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan
minoritas.
b.
Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu
distrik kehilangan semua suara yang mendukungnya(banyak suara yang hilang).
c.
Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang
diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen,
menguntungkan partai besar.
Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar
keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada
perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut
kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi :
a)
Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu
menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa
memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan
kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun
terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub
partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
b)
Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing
yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil
yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999, Halaman 25)
C.
Hubungan antara
Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu dan Tertib Politik (Politik Order)
Merujuk pada proposisi yang dikemukan oleh Maurice
Duverger dan Robert Michels, pilihan suatu masyarakat pada sistem kepartaian
tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan sistem pemilu yang sesuai dengan
latar belakang masyarakat, memiliki kemungkinan untuk menghasilkan suatu
pemerintahan yang memiliki stabilitas politik “ political order”. Namun
sebaliknya, kesepakatan masyarakat untuk menggunakan suatu sistem kepartaian
tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan suatu sistem pemilu yang tidak sesuai
dengan latar belakang masyarakat, memiliki peluang untuk melahirkan suatu
kehidupan politik yang tidak stabil.
Secara lebih detail hubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemilu,
backgourd masyarakat, dan stabilitas politik dapat dielaborasi dalam enam
hipotesis sebagai berikut:
a)
Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem
pemilu model distrik yang diterapkan pada masyarakat yang backgroundnya
homogen, dari sisi etnis, aliran pemikiran politik, agama memiliki peluang
besar untuk menghasilkan stabilitas politik.
b)
Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem
pemilu model proposional pada masyarakaat yang memiliki background heterogen
memiliki kecederungan untuk menghasilkan kehidupan politik yang stabil. Namun,
memungkinkan aspirasi politik masyarakat yang heterogen yang tidak tertampung
oleh dua partai politik.
c)
Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem
pemilu model distrik pada masyarakat yang background heterogen memiliki peluang
lebih besar pada kehidupan politik yang kurang stabil, terutama pada awal
perkembangannya.
d)
Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem
pemilihan model distrik pada masyarakat yang backgroundnya homogen akan
memiliki kecenderungan menuju pada kehidupan politik yang bergerak ke arah
stabilitas. Hal tersebut dikarenakan akan mendorong terjadinya evolusi sistem
kepartaian menuju pada sistem dua partai.
e)
Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem
pemilu model proposional pada masyarakat yang background heterogen akan
memiliki kecenderungan menghasilkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil.
Hal tersebut tidak mendorong untuk terjadi evolusi sistem kepartaian menuju
pada sistem kepartaian yang sederhana. (sistem dua partai).
f)
Sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemilu
model distrik pada masyarakat yang backgroundnya heterogen, memiliki
kecenderungan untuk menghasilkan stabilitas politik, namun memiliki peluang
yang menimbulkan ketidakpuasan politik.
Sejarah perkembangan sistem pemilu secara umum telah berkembang melalui
tiga sistem yaitu;
1. Pluralisme- Mayoritas (di dalamnya meliputi FPTP, Block Vote, TRS dan
Alternative Vote)
2. Semi Reprensentasi Proposional ( yang terdiri dari LIST, MMP, STV).
3. Sistem Proposional ( yang terdiri dari dalam Handbook of Voter Turnout
1945-1997:A global Report on Political Partisipation, Internasional IDEA
dinyatakan bahwa pada tahun 1945, sebanyak 80% negara-negara Demokrasi
menggunakan sistem Representatif Proposional (RP). Inggris, Amerika Serikat,
Kanada, dan Selandia Baru, menggunakan Sistem First Past the Post (FPTP) ;
Kebanyakkan Negara-Negara Eropa menggunakkan Two Round System (TRS). Pada 1950
Jepang menggunakan Singgle Non-Transforrable Vote (SNTV), sedangkan Jerman,
sesudah perang dunia kedua, menggunakan Mixed Member Protisonal (MMP).
Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu
sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap
sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem
pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri
tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain.
Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan
kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk
dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat
kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi masyarakat
yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.
Untuk kondisi di Indonesia, yang masyarakatnya memiliki background aliran
pemikiran politik, etnis, agama, budaya yang heterogen secara teoritis jika
ingin menghasilkan suatu tata kehidupan politik yang stabil adanya political
order, maka perlu pertimbangan untuk diterapkan sistem pemilu dengan model
distrik. Penerapan sistem pemilu model distrik memberi dorongan untuk
terjadinya evalusi sistem kepartaian banyak partai kepada dua sietem partai. Jika
berhasil didorong berjalannya evolusi sistem kepartaian menuju sistem dua
partai melalui penerapan sistem pemilu distrik maka kehidupan politik di
Indonesia memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kestabilan
politik. Namun demikian, kondisi sebaliknya akan sering hadir jika proposisi
tersebut tidak dapat dipenuhi. Kehidupan politik di Indonesia sulit diharapkan
untuk mampu menghadirkan suatu tatanan politik yang stabil, jika tidak terjadi
kombinasi yang harmonis antara pilihan sistem kepartaian dengan sistem pemilu
yang sesuaikan dengan background masyarakat Indonesia.
Kiranya perlu diberikan penjelasan mengapa pemilu dengan sistem distrik
dengan berbagai variannya yang merujuk pada model sistem pluralisme-mayoritas,
memberikan dorongan untuk secara alamiah terjadinya pengurangan jumlah partai
yang ikut berkompetisi dalam pemilu?. Pelaksanaan kegiatan yang merujuk pada
model pluralitas-mayoritas yang lebih dikenal dengan sistem distrik memiliki
prinsip bahwa jumlah wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan politik
seperti parlemen (DPR) sama dengan jumlah distrik (daerah pemilihan yang ada
pada suatu negara , sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh kekuatan
politik (partai politik) yang ada pada suatu negara. Setiap satu distrik daerah
pemilihan ditentukan hanya mempunyai satu wakil rakyat yang akan duduk di
parlemen.
Dengan ketentuan sebagaimana dirujuk dalam sistem distrik tersebut, maka
disetiap distrik hanya ada satu partai politik yang memiliki wakil parlemen.
Penerapan model tersebut secara berulang-ulang mendorong untuk memunculkan
suatu kondisi kehidupan kepartaian, dimana hanya ada satu sampai dua partai
yang mendapatkan dukungan yang kuat di suatu distrik pemilu. Sementara itu,
pemilu tidak berhasil mendatangkan dukungan yang memadai secara alamiah akan
mengalami kematian.
Bukti empiris dari negara-negara yang mempraktikan model sistem distrik
secara nasional, menunjukkan bahwa secara nasional akan lahir suatu
kecenderungan lahirnya sistem dua partai, yakni hanya ada dua partai politik
yang bisa eksis dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan politik
nasional. Dengan terjadinya pengurangan jumlah partai politik yang memiliki
wakil formal di lembaga parlemen, maka juga dapat mengurangi serta mereduksi
sumber dan istrumen untuk terjadinya berbagai macam konflik dalam suatu
masyarakat, khususnya konflik politik. Pengurangan jumlah partai secara alamiah
melalui penerapan sistem distrik juga mampu memberikan iklim agar berbagai
spektrum aliran pemikiran politik yang memiliki kedekatan ideologi berkumpul
pada satu partai politik tertentu.
Jika kondisi tersebut dapat terwujud hal itu berati juga salah satu fungsi
partai politik untuk menjalankan fungsi manajemen konflik dapat diperankan.
Dengan demikian, kiranya dapat dinyatakan bahwa pilihan untuk menggunakan model
sistem peilu distrik memberikan peluang pada partai politik untuk memperkuat
fungsi-fungsinya sebagai pengatur konflik. Implikasi dan kondisi partai politik
memiliki konstribusi bentuk menghadirkan adanya suatu tertib politik-stabilitas
kehidupan politik.
Dan pemaparan diatas, kiranya dapat ditarik suatu pemahaman bahwa antara
sistem pemilu dengan sistem kepartaian dan stabilitas politik memiliki
hubungan. Sebagaimana telah diuraikan bahwa pilihan untuk menerapkan suatu
sistem pemilu tertentu misalnya sistem pemilu distrik akan memiliki pengaruh
pada munculnya sistem kepartaian yang dengan sistem dua partai. Sementara itu,
pilihan untuk menerapkan sistem proposional akan memberi peluang untuk lahirnya
sistem banyak partai pada suatu masyarakat yang secara sosial fragmentasi dan
mamiliki aliran pemikiran politik, dengan perpedaan yang tajam, akan memberikan
kemungkinan untuk sulit memberikan kontribusi bagi yang ada stabilitas politik.
BAB III
PENUTUP
Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah
partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi
terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu
tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di
dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku,
agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan
kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai
politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut
mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik.
Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar
pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai.
Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu
sistem pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap
sistem pemilu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem
pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri
tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang lain.
Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan
kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki background majemuk
dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki tingkat
kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi
masyarakat yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Cholisin. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Hatington, Samuel. 2004. Tertib Politik Pada masyarakat yang Sedang
Berubah. Jakarta: Raja Grafindo.
Hidayat, Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.
Nasiwan. 2009. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Rahman. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanit, Arbi. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi.Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.