BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bhineka Tunggal Ika
merupakan pernyataan simbolis Bangsa Indonesia mengenai keanekaragaman
kebudayaannya.Arti harfiah dari kalimat ini adalah “berbeda tetapi satu”.Namun
makna simbolis pada Burung Garuda sebagai Lambang Negara, memberikan arti
Indonesia dibangun oleh keanekaragaman sukubangsa dengan kebudayaan
masing-masing.Keragaman kebudayaan masyarakat juga tercermin dalam berbagai
bentuk kebudayaan, baik yang bersifat tak benda (intangible) dan yang
bersifat bendawi. Prof. Dr.Yunus Melalatoa, mencatat bahwa di Indonesia walaupun
dari unsur budaya yang dimiliki suku-suku tersebut ada yang samatapi ada pula
yang berbeda, bahkan ada yang bertolakbelakang. Kaitan dengan masalah budaya
yang tidak sama apalagi bertolakbelakang perlu diperhatikan agar tidak
terbentuk stereotype negatif.
Demikian juga corak
kemajemukan masyarakat Indonesia yang disimbolkan dengan Bhineka Tunggal Ika
tadi menjadi lebih kompleks karena adanya sejumlah warga negara atau kelompok
etnis keturunan, yaitu golongan yang dianggap oleh mayoritas masyarakat
Indonesia sebagai penduduk yang berasal dari keturunan bangsa lain di luar
Indonesia. Dalam perkembangannya warga Negara Indonesia yang tergolong sebagai
kelompok etnis keturunan orang asing ini hidup di dalam dan menjadi bagian dari
Bangsa Indonesia. Walaupun jumlah mereka sebenarnya relatif kecil jika
dibandingkan dengan sukubangsa-suku bangsa lain di Indonesia, akan tetapi
golongan keturunan ini umumnya memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi
bangsa. Hal ini disebabkan mereka lebih suka bergerak di bidang industri, perdagangan
dan jasa moneter. Golongan etnis keturunan tersebut, antara lain keturunan
Cina, India, dan Arab. Pada masa lampau mereka lebih dikenal sebagai golongan
nonpribumi, tapi sekarang diganti dengan sebutan golongan “keturunan”, yaitu
keturunan Cina, keturunan India, keturunan Arab, dan seterusnya.
(Suparlan,1989).
Demikianlah keragaman etnis
Indonesia otomatis menghasilkan sebuah tatanan kemasyarakatan heterogen dengan
segala konsekuensinya.Keberagaman etnis di Indonesia jika dikelola dengan
bijaksana akan melahirkan suatu potensiterutama untuk menciptakan tatanan
kemasyarakatan yang dinamis dan integratif. Akan tetapi, bisa menjadi bencana
apabila keberagaman tersebut tidak disikapi dengan bijaksana, dan setiap elemen
masyarakat hanya mengedepankan perbedaan semata. Tidak dapat disangkal bahwa
dalam situasi keberagaman, akan muncul gejala keakuan budaya (ego culture) yang
dalam tataran tertentu bisa mengakibatkan lahirnya prasangka sosial (social
prejudice). Prasangaka sosial inilah biasanya yang menjadi pemicu adanya
disorganisasi sosial bahkan disintegrasi social(Timotius Nusan, 2003).
1.2. Permasalahan
Sesungguhnya keberadaan
suatu etnis di tempat atau daerah baru, memiliki sejarah tersendiri, khususnya
berkaitan dengan status yang dimiliki oleh suatu etnis dalam hubungannya dengan
etnis lain. Suatu etnis pendatang biasanya berinteraksi dengan etnis lain asal
di suatu tempat, secara alami akan menempatkan pendatang dalam posisi yang
relatif lemah dengan berbagai kepentingan akan menjadi persoalan persepsi dan
interpretasi dari segala aspek budaya yang dihadapi. Stigma akan menjadi
penghambat bagi masyarakat untuk melakukan hubungan sosial. Merujuk pada
permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan sebagai berikut.
a. Adakah public space atau
ruang publik sebagai arena yang bisa mempertemukan berbagai kepentingan etnis?
b. Bagaimana berbagai
kelompok etnis yang ada di suatu tempat mengembangkan pola hubungan sosial dalam
rangka membangun keserasian hidup, khususnya dalam komunitas permukiman?
c. Simbol-simbol apakah yang
berfungsi dan dimaknai sebagai alat komunikasi antaretnis?
1.3. Tujuan
Makalah tentang Pengelolaan
Keragaman Budaya ini dimaksudkan selain untuk mendapatkan gambaran yang
mendalam berkenaan dengan pola hubungan sosial antaretnis di suatu tempat, juga
berusaha untuk menemukenali berbagai faktor yang memungkinkan bisa dijadikan
rujukan dalam rangka membangun hubungan harmonis antaretnis. Dengan kata lain, makalah
ini mengkaji adaptasi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan latar belakang
budaya yang berbeda. Salah satunya adalah kearifan tradisional/lokal dan nilai
budaya yang bisa menyatukan seluruh warga.
Di samping tujuan di atas,
melalui penelitian ini akan diusahakan untuk menemukenali berbagai faktor yang
menjadi kendala dalam upaya menciptakan persatuan bangsa, untuk selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya. Keseluruhan data yang diperoleh melalui penelitian
ini diharapkan bisa menjadi bahan informasi untuk menyusun kebijakan
pembangunan kebudayaan.
1.4. Ruang Lingkup
Penelitian
Ruang lingkup makalah adalah
Daerah Mataram, sebagai Ibukota Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu wilayah
yang juga dihuni oleh berbagai etnis dari seluruh Indonesia, khususnya Bali,
Jawa, Bugis-Makasar, dan sebagian kecil kelompok etnis dari luar Indonesia
khususnya Australia. Sebagai wilayah yang dihuni oleh berbagai kelompok tadi,
sudah barang tentu Mataram memiliki masalah tersendiri yang erat kaitannya
dengan pola interaksi antaretnis.
menemukenali berbagai nilai
budaya sukubangsa, terutama yang berakar pada kearifan lokal seperti nilai yang
merujuk kepada kerukunan antara sukubangsa, nilai yang mengharuskan setiap
manusia melakukan penyesuaian dengan lingkungan, ataupun nilai budaya yang
mengajarkan manusia agar mampu mengendalikan emosi dan tidak mudah marah kepada
sesama. Nilai ini sesungguhnya secara kodrati telah ada dalam jiwa seluruh
manusia, karena pada hakekatnya manusia selalu mendambakan hidup rukun, tentram
dalam setiap kesatuan hidupnya.
BAB II
PENGELOLAAN
KERAGAMAN BUDAYADI MATARAM,NUSA TENGGARA BARAT
Mataram sebagai salah satu
kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di antara Kabupaten Lombok Barat
dan Selat Lombok. Wilayah Kota Mataram hingga tahun 2010 dihuni oleh 1.343.402
jiwa penduduk, yang berasal dari macam-macam etnis antara lain: Orang Sasak
berjumlah : 952.070 jiwa Orang Bima : 121 750 Jiwa Orang Sumbawa : 78 789 jiwa
Orang Bali : 64 743 jiwa Orang Dompu : 25 009 jiwa Orang Jawa (Tengah,Timur) :
44 826 jiwa Orang Donggo : 401 jiwa Orang Bugis/Makassar : 5604 jiwa Lainnya :
50 210 jiwa Yang dimaksud sukubangsa lainnya adalah orang Sunda, Padang, Batak,
Manado, Banjar, Cina, dan keturunan Arab.
Dalam perjalanan sejarahnya,
masyarakat Sasak di Pulau Lombok telah menerima pengaruh Agama Budha, Hindu,
dan Islam.Namun masyarakat Sasak sendiri mayoritas menjadi pemeluk Agama Islam,
agama yang dibawa oleh orang Jawa pada abad ke-16.Sekalipun penduduknya memeluk
beragam agama, namun dalam kehidupan sehari-hari tampak rukun dan saling
menghargai satu dengan lainnya.Kehidupan beragama tumbuh subur, dengan
hadirnyaberbagai fasilitas keagamaan seperti masjid, musholah, gereja, pura,
maupun vihara. Namun demikian, sebagaimana halnya masyarakat lain di Indonesia,
kepercayaan lokal yang dimiliki setiap etnis tetap hidup dan dijalankan
berdampingan dengan agama yang mereka anut. Hari-hari besar setiap agama,
dirayakan bersama dengan saling memberikan ucapan selamat dan saling
mengunjungi.Penduduk di Kota Mataram sudah memiliki kesadaran tinggi terhadap
pentingnya pendidikandengan latar belakang penghuninya yang rata-rata bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, dan sektor jasa.
Kehidupan
Sosial Budaya pada
abad ke-9, Pulau Lombok merupakan pusat perdagangan terbesar di wilayah
Indonesia bagian Timur, dan banyak didatangi orang-orang dari Jawa yang
berdagang sekaligus memperkenalkan aksara dan bahasa Kawi. Pendatang lainnya
adalah orang-orang dari Pulau Sumatera (Padang), Bali, Sumatera Utara (Batak),
Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar), Sulawesi Utara (Manado), Ambon, dan
Kalimantan (Banjar). Para pendatang itu, di kemudian hari berasimilasi dengan
penduduk asli, dan hasil dari pembauran tersebut lahir Suku Sasak seperti
sekarang ini. Sekalipun banyak tradisi yang memberi warna, akan tetapi tradisi
Jawa didukung secara dominan oleh penduduk asli. Seperti ditulis dalam banyak
naskah, orang Sasak yang dibentuk dari berbagai suku dan tradisi telah
membangun suatu tatanan masyarakat yang bersifat luwes dan sangat toleran,
suatu sikap yang umumnya dimiliki oleh kebanyakan orang di Pulau Jawa.Abad ke
18 pengaruh Kerajaan Karang Asem mulai masuk dan menjadi penanda kehadiran
orang Bali di Lombok. Pendatang lain yang datang kemudian adalah orang-orang
Cina yang dikenal sangat eksis dalam sistem perekonomian di Lombok, demikian
juga dengan orang-orang Arab dan India. Bukti bahwa orang-orang keturunan ini
sangat besar pengaruhnya dalam aspek perdagangan bisa dilihat dari jumlah
pengusaha/pedagang yang ada pusat-pusat pertokoan di kota Mataram. Pulau Lombok
yang beribukota Mataram, kini boleh dikatakan sebagai “melting pot”
yakni, tempat di mana warga dari macam-macam sukubangsa berkumpul dan saling
berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan. Namun demikian, kondisi Kota
Mataram sangat kondusif dan semua warga yang memiliki latar belakang budaya dan
tradisi berbeda itu merasa senang dan nyaman tinggal di kota ini.
Orang Jawa adalah etnis
kedua terbesar setelah Sasak yang menjadi tuan rumah di kawasan Ampenan. Mereka
berasal dari berbagai daerah baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Dari Jawa
Tengah umumnya berasal dari Solo, Tegal, Semarang ,dansebagainya, sementara
dari Jawa Timur berasal dari Surabaya, Malang, Madiun dan sebagainya.
Kedatangan mereka, sesungguhnya jauh lebih lama dari sukubangsa lainnya.Menurut
sejarahnya, kebudayaan tulis dan baca di Pulau Lombok ini lahir dan berkembang,
ketika ke pulau tersebut datang orang-orang Jawa yang memperkenalkan aksara dan
sastra Jawa Kuno.Dengan demikian, tradisi yang hidup di Pulau Lombok, juga di
kawasan Perumnas Tanjung Karang ini, dapat dikatakan sebagai tradisi berlanjut.Informan
yang berasal dari Jawa mengatakan bahwa mereka adalah generasi kedua, atau
generasi yang menetap di Mataram dan tahun 1981 pindah ke Perumnas Tanjung
Karang.
Sekalipun berasal dari Jawa
mereka tidak merasa ada perbedaan perlakuan, dan membuat warga dari Etnis Jawa
tersebut merasa nyaman tinggal di Perumnas. Demikian juga warga yang berasal
dari Jawa Timur, sekalipun kedatangan mereka ke Perumnas lebih belakangan dari
warga Jawa Tengah, mereka merasa aman-aman saja dan diterima dengan baik.Karakteristik
orang Jawa Timur yang dikenal agak keras, sedikit-demi sedikit terkikis karena
harus menyesuaikan diri dengan sifat penduduk asli. Sesungguhnya, orang Sunda
adalah sukubangsa yang kurang suka merantau dan memilih hidup berdekatan dengan
keluarga di kampung halamannya, Tatar Sunda.Namun anggapan seperti itu, kini
mulai menipis dengan dijumpainya komunitas Sunda di Kota Mataram dan sebagian
kecil di Perumnas Tanjung Karang. Jika orang Jawa yang berdatangan ke Pulau
Lombok umumnya untuk berdagang, orang Sunda biasanya disebabkan alasan lain
seperti karena alih pekerjaan, ikut keluarga atau karena menikah. Untuk
sementara mereka merasa senang tinggal di Perumnas, namun dalam jangka waktu
tertentu misalnya jika sudah pensiun, mereka akan kembali ke Tatar Sunda.
Demikian juga banyak di antara mereka yang menjadi pejabat dan bertahan hingga
selesai masa jabatannya, ketika pensiun pulang ke tanah kelahiran.Sementara
itu, orang Padang dari Sumatera Barat yang dikenal menjadi perantau ulung,
memang nampak sangat eksis.Bukan hanya betah di Perumnas atau di Pulau Lombok,
tetapi juga usahanya maju dan berkembang.Sudah banyak rumah makan Padang di
Kawasan Perumnas, bahkan hampir di seluruh Pulau Lombok.Hal ini menandakan
bahwa orang Padang dimanapun berada selalu berhasil seperti moto hidup mereka
di mana bumi dipijak, disana langit dijunjung, artinya dimanapun berada orang
Padang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Orang Batak dari Sumatera
Utara tidak jauh berbeda dengan orang Padang, datang ke Pulau Lombok selain
untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, di antaranya ada juga yang karena
kawin mawin dengan Suku Sasak dan kemudian membentuk keluarga di Kota Mataram.
Sikap keras orang Batak terkikis, dengan intensnya pergaulan mereka dengan
sukulainnya. Di Mataram orangBatak banyak dijumpai sebagai pengusaha angkutan
kota atau menjadi sopir dan pengusaha bengkel.
Orang-orang Bali yang sudah
ada di Lombok sejak abad ke 18, seiring dengan masuknya pengaruh Kerajaan
Karang Asem, menjadi warga yang lumayan dominan di Mataram. Sikap orang Bali
yang agak lembut dan pendiam, ditengarai menjadi katarsis bagi pihak-pihak yang
temperamental. Orang Bali yang ada di Perumnas umumnya menjadi warga yang
paling mudah diketahui keberadaannya.Hal ini disebabkan model rumah tinggal
mereka yang dilengkapi berbagai komponen kebudayaan dan tradisi Bali, khususnya
yang erat kaitannya dengan kegiatan ritual mereka.Ketekunan orang Bali dalam
menjalankan agamanya kiranya menjadi contoh yang baik bagi warga lainnya.
Orang Bima, adalah
sukubangsa yang juga menjadi penghuni Tanjung Karang.Jika banyak orang Bima di
kawasan tersebut, tidaklah mengherankan mengingat jarak tempuh dari tempat
asalnya ke Pulau Lombok sangat dekat dan mudah dicapai.Orang Bima bekerja dalam
berbagai sektor dan dikenal mempunyai ikatan persatuan yang sangat kuat dan
agak eksklusif.
Demikian juga orang Sumbawa
mempunyai ikatan kuat dengan orang Sasak.,Kedua etnis itu sulit dibedakan,
hanya saja orang Sumbawa dikenal sangat suka berkesenian khususnya musik. Dalam
berbagai kesempatan orang Sumbawa selalu kelihatan ceria dan hangat.Orang Sasaksendiri, sebagai penduduk
asli sangat toleran, rendah hati dan selalu menyenangkan orang lain. Sifat itu
juga yang menjadi daya tarik bagi sukubangsa-sukubangsa lain untuk menetap di
Lombok. hingga kini ikatan kekeluargaan itu terus dibina.
Komunitas lain yang ada di
Tanjung Karang adalah Bugis-Makassar, Ambon dan Manado. Sekalipun pada awalnya
dikenal agak temperamental dan agak keras, namun sifat-sifat tersebut kemudian
melembut seiring dengan intensifnya pergaulan dengan sukulain. Adapun orang
Banjar yang berasal dari Kalimantan, tidak ubahnya dengan orang Melayu yang
berhati lembut dan kuat beragamanya.
Sedangkan warga dari Etnis
Madura, dikenal agak keras, temperamental namun sangat ulet dalam berusahadalam
sektor informal seperti pedagang sate, soto, atau bahan bangunan. Seluruh
sukubangsa yang berasal dari tempat berbeda, memiliki latar belakang budaya,
bahasa dan tradisi berbeda pula, kini hidup dalam satu kawasan yang sama yaitu
Perumnas Tanjung Karang. Dalam banyak hal sifat-sifat kolektif yang sebelumnya
bisa menjadi pemicu konflik mulai dikikis dan berusaha semaksimal mungkin
menerima perbedaan agar tercipta kerukunan hidup, dan itulah yang selalu
diusahakan oleh seluruh warga Perumnas.Selain mencoba menyesuaikan diri dengan
lingkungan, ada beberapa nilai budaya yang tanpa disadari telah menjadi
pemersatu seluruh etnis yang ada di Perumnas Tanjung Karang. Nilai budaya
tersebut antara lain;mengembangkan
sikap toleransijika dihadapkan pada persoalan yang berkaitan dengan
perbedaan, tenggang rasa yakni
kesediaan untuk menempatkan diri pada posisi yang kurang menguntungkan, pengendalian diri, artinya setiap
etnis berusaha meredam hasrat, emosi yang dinilai akan menimbulkan konflik
misalnya menahan perasaan marah dan memperbanyak sabar. Menyadari hidup di
tengah-tengah komunitas yang beragam, mengharuskan warga bersedia menerima perbedaan dan keberadaan orang yang
mempunyai latar belakang budaya berbeda, mengedepankan dialog untuk
mencari solusi atas masalah yang timbul di antara warga.Yang paling menarik
adalah amalgamasi yakni suatu
situasi yang memungkinkan adanya ikatan antara dua individu yang berasal dari
sukubangsa yang berbeda, dengan satu catatan hal yang prinsip (agama) tetap
dipertahankan.
Bentuk/pola interaksi yang
berlangsung antarsuku juga berfungsi sekaligus untuk memperkenalkan budaya dan
tradisi masing-masing daerah.Dalam konteks tersebut termasuk di dalamnya
berbagai aktivitas interaksi yang dibangun melaluiInteraksi yang dilakukan melalui upacara tradisional (perkawinan,
khitanan, keagamaan atau kepercayaan lainnya) dan interaksi yang Dilakukan
Melalui Kegiatan Sosial Kemasyarakatan.
Ruang
publik sebagai arena yang menyatukan kepentingan bersama merupakan suatu tempat yang
digunakan secara komunal untuk berbagai kepentingan.Sifatnya khusus jika
digunakan untuk kepentingan eksklusif kelompok tertentu, dan bersifat umum
apabila menjadi arena berbagai aspek kemasyarakatan.Termasuk dalam ruang publik
bersifat khusus adalah tempat penyelenggaraan aktivitas keagamaan seperti
pengajian.Selain di masjid, mushala, aktivitas pengajian juga acapkali
dilaksanakan di rumah warga secara bergilir.Demikian juga gereja dan pura,
adalah ruang publik yang digunakan oleh pemeluk Agama Kristen/Katolik dan
Hindu.
Dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, dikenal juga tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai
ruang publik. Di Tanjung Karang, dibangun sebuah plaza yakni gedung yang
berukuran besar dan luas. Sesuai fungsinya sebagai ruang publik, plaza bisa
digunakan oleh semua warga, baik untuk kepentingan pribadi (peristiwa adat
meliputi upacara perkawinan, khitanan atau kegiatan adat lainnya), atau
digunakan untuk kepentingan bersama yang melibatkan seluruh warga.Plaza juga
menjadi arena untuk menyelenggarakan berbagai latihan atau pertandingan
berbagai cabang olahraga, pergelaran seni, tempat upacara untuk memperingati
Proklamasi Kemerdekaan RI, bahkan digunakan juga sebagai tempat penyelenggaraan
upacara keagamaan jika dilaksanakan secara besar-besaran.Contohnya,
penyelenggaraan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, perayaan Natal atau hari
raya umat Hindu. Selain melibatkan tokoh-tokoh agama yang bersangkutan, acara
tersebut umumnya dihadiri oleh hampir seluruh warga Perumnas., hingga terkesan
menjadi ajang silaturahmi atau pertemuan warga. Pertemuan lintas budaya yang
terjadi dalam ruang publik tadi, hasilnya sangat efektif dan luar biasa artinya
terjadi suatu interaksi langsung antaretnis yang berbeda.Kontak budaya bukan
hanya terjadi antargenerasi tua, tetapi juga terjadi di kalangan generasi
mudanya.Dalam berbagai aktivitas yang diselenggarakan, acapkali lahir ide-ide
komunal yang bisa menjembatani berbagai perbedaan latar belakang budaya dan
tradisi.
Pasar
tradisional,sekalipun
hanya berwujud pasar tumpah namun bagi warga Tanjung Karang telah menjadi suatu
arena pertemuan sosial, khususnya kaum ibu yang setiap pagi berbelanja.Secara
tradisional, pasar tidak semata-mata menjadi arena jual beli berbagai kebutuhan
hidup, namun bisa menjadi ajang yang mempertemukan berbagai hal termasuk
sosialisasi nilai antarsuku.Di pasar juga, berbagai informasi cepat tersebar,
sehingga banyak warga yang memperoleh pengetahuan justru dari lingkungan
pasar.Meskipun dalam jarak yang dekat terdapat pula sebuah pusat perbelanjaan
modern (Mall), namun kaum ibu Tanjung Karang, lebih memilih berbelanja di pasar
tradisional. Alasannya tidak lain agar bisa tawar menawar harga, dan jika
beruntung bisa berjumpa dengan orang-orang sesuku. Intensifnya hubungan timbal balik
antara penjual dan pembeli, yang acapkali berasal dari macam-macam suku, telah
memungkinkan dikenalnya bahasa, dan tradisi sukubangsa lain oleh seseorang. Di
lingkungan pasar tradisional, dapat pula diketahui penggolongan pedagang dan
jenis komoditi yang diperdagangkan. Contohnya, orang-orang Madura pada umumnya
berjualan soto dan sate, orang Padang membuka rumah makan Padang dengan lebih
permanen, orang Sasak berjualan kain tenun tradisional atau aneka perhiasan
dari mutiara, sementara warga keturunan lebih variatif karena lebih banyak komoditi
yang diperjualbelikan.
BAB III
KESIMPULAN
Indonesia terdiri atas
berbagai suku yang masing-masing mendukung kebudayaan yang berbeda.Disadari
bahwa perbedaan tersebut sangat berpotensi menimbulkan konflik bila tidak
dikelola dengan bijaksana.Oleh karena itu diperlukan suatu kerangka acuan bagi
semua sukubangsa agar bisa berinteraksi dalam bingkai kerukunan.Makalah pengelolaan
keragaman budaya adalah suatu upaya nyata untukmenemukenali nilai-nilai budaya
yang bisa digunakan bersama oleh bangsa Indonesia sebagai pedoman
pergaulan.Data dan informasi yang dihasilkan oleh penelitian ini adalah berupa
nilai budaya yang terkandung dalam sistem budaya sukubangsa yang telah teruji
keampuhannya oleh sukubangsa dimaksud.Nilai-nilai budaya tersebut banyak
diantaranya yang terkandung dalam kearifan lokal masing-masing suku.Sesuai
dengan harapan seluruh masyarakat Indonesia, maka hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi bahan kebijakan pemerintah dalam upaya pembangunan
kebudayaan.Sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman, kebijakan tersebut
sangat penting untuk menyikapi berbagai masalah yang berpotensi melahirkan
konflik.Demikian juga kearifan lokal yang dimiliki dalam sistem budaya
sukubangsa, perlu difahami oleh semua lapisan masyarakat khususnya generasi
muda, agar di kemudian hari pemahaman terhadap perbedaan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Apresiasi Budaya, Indonesia Center For Sustaianble
Development (ICSD) bekerjasama dengan Asisten Deputi Apresiasi Budaya,
Kementrian kebudayaan Dan Pariwisata, Jakarta.
Dananjaya, James (1984),
Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain,
PT.Grafis, Jakarta. F.Sanga,
dkk (1996/1997), Pembinaan Disiplin Di Lingkungan
Koentjaraningrat, (2002), Manusia
Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jambatan, Jakarta.
Kantor Pertanahan Kota
Mataram (2004), Mataram Dalam Angka.Kelurahan Nefonaek (2006), Laporan
Bulanan, Kupang.
M.Yamin (2002), Etnisitas
Dalam Dinamika Multikultural, makalah dalam
Temu Budaya Daerah NTB,
kerjasama dengan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi NTB dengan BKSNT
Denpasar, Mataram.
Melalatoa, M. Yunus, Ensiklopedi
Sukubangsa Di Indonesia, Jilid A-K. 109
Musbiawan (2006), Globloc
Siapa Takut, makalah dalam Temu Budaya Daerah NTB, kerjasama Dinas
Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi NTB dengan BKSNT Denpasar , Mataram.
Suminar, dkk (2003), Integrasi
Dan Disintegrasi Dalam Perspektif Budaya, BP Kebudayaan Dan Pariwisata,
Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya, Direktorat Tradisi Dan
Kepercayaan, Proyek Pelestarian Dan Pengembangan Tradisi Dan Kepercayaan,
Jakarta.
Solihin, Ahmad (2000), Komunikasi
Intra Budaya, Studi Dengan Pendekatan Dramaturgis Pengelolaan Kesan Pada
Upacara Pernikahan Adat Sunda Di Kota Bandung, UNPAD, Bandung.