FILSAFAT ISLAM
A.
Pengertian
Filsafat Islam
Masuknya filsafat berkembang di
pesisir samudera Mediterania bagian timur pada abad 6M yang ditandai dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan.
Dari Mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air filsafat.
Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia
timur, dan berpuncak pada 529M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam, maka
yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada
sumber-sumber hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh
filosofnya adalah muslim. Para filosofnya hidup dan bernafas dalam realita
Al-Quran dan As-Sunah. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan
filsafat lain. Pertama, meski semua filosof muslim menggali kembali karya-karya
filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran Islam.
Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih “mencari
Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”.
Kata
falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa
Arab فلسفة yang juga diambil dari
bahasa Yunani, philosopia, Philo = cinta, sopia = kebijaksanan.
Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat mengandung pengertian ingin tahu lebih
mendalam atau cinta kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari segi istilah adalah
berpikir secara sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang
hakikat segala sesuatu yang ada berdasarkan ajaran islam, seperti hakikat alam,
hakikat mansia, hakikat masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
muncullah filsafat alam, filsafat manusia, filsafat masyarakat, dan lain
sebagainya. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-Quran, mencari
jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa,
berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut
muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri,
patuh, dan tunduk kepada Allah SWT. Selanjutnya pengertian
Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut
selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dari pengertian filsafat
dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat
Islam, adalah filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban
mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama
kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan
semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas
tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan
sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat orang lain.
Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang
philosophis. Yaitu :
- Pertama
harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus,
tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran
tersebut benar-benar dapat dimengerti.
- Kedua
harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga
tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
- Ketiga
harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari
hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu
tertentu.
B.
Ciri Khas Filsafat Islam
ü Sebagai filsafat religius-spritual
Dikatakan
filsafat religius, karena filsafat Islam tumbuh dijantung Islam, tokoh-tokohnya
dididik dengan ajaran Islam dan hidup dalam suasana Islam. Filsafat Islam
merupakan perpanjangan dari pembahasampembahasan keagamaan dan teologi yang ada
sebelumnya. Topik-topik filsafat Islam itu bersifat religius, seperti
meng-Esakan Tuhan. Karena Ia adalah pencipta, maka Ia mencipta dan bukan
sesuatu, mengatur dan menatanya3. Ia menciptakan dengan semata-mata anugerah-
Nya. Ia jaga dengan perhatian-Nya dan Ia tundukan dengan kepada hukum-hukum permanen
dan kokoh. Dengan cara religius dan spiritual ini, filsafat Islam bisa
mendekati filsafat skolastik, bahkan sejalan dengan filsafat kontemporer.
ü Filsafat Rasional
Walaupun
bersifat religius-spiritual, tetapi filsafat Islam juga amat bertumpu pada akal
dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam. Akal manusia
merupakan salah satu potensi jiwa. Ia ada 2 macam. Pertama, praktis bertugas
mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua, teoritis khusus berkenaan
dengan persepsi dan epistemology. Karena akal praktis inilah yang menerima
persepsi-persepsi inderawi dan meringkas pengertian universal dengan bantuan
akal aktif. Dengan akal, kita menganalisa dan membuktikan. Dengan akal, kita menyingkap
realita-realita ilmiah. Karena akal merupakan salah satu pintu pengetahuan. Para
filosof Islam sejalan dengan Mutazilah yang mendahului mereka dalam
mengagungkan akal dan tunduk kepada hukumnya. Mereka bertumpu pada akal dalam
banyak hal. Untuk itu, mereka sepakat bahwa dengan akalnya manusia mampu
membedakan baik dan buruk, bahkan mampu membedakan baik dan buruk sebelum ada
ketentuan agama. Mereka mengemukakan teori bahwa Allah harus melakukan yang
baik dan yang terbaik, sehingga perbuatan Allah tidak terlepas dari kriteria
baik.
ü Filsafat Sinkretis
Filsafat
Islam memadukan antar sesama filosof. Akan tetapi, mereka konsentrasi khusus
mempelajari Plato dan Aristoteles. Mereka menerjemahkan hampir semua buku
standar Aristoteles. Aritoteles dan Plato amat mempengaruhi banyak aliran
Islam. Tidak pelak lagi, Aristoteles dan Plato adalah pemimpin filsafat, yang
meletakkan prinsi-prinsipnya, membicarakannya secara detail, mencapai tujuan
dengan prinsip-prinsip itu. Namun, tidak mungkin kita mengharapkan kesuksesan
perpaduan yang landasannya salah. Akan tetapi, hal ini merupakan titik awal
yang melandasi para filosof selanjutnya. Jika perpaduan Plato dan Aristoteles
sebagai salah satu asas yang melandasi filsafat Islam, maka prinsip yang kedua
adalah memadukan filsafat dengan agama. Selain berciri religius, filsafat Islam
juga memasukan teks agama dengan akal. Dalam filsafat, ada aspek yang tidak
sesuai dengan agama. Itu sebabnya mengapa para filosof Islam sibuk memberi ciri
agama kepada filsafat. Perpaduan yang diusahakan para filosof Islam merupakan salah
satu rajutan jembatan yang mendekatkan filsafat Arab dengan filsafat latin.
Filsafat
dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila
yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan
dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi
kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan
agama? Itulah pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa
terhadap usaha para filosof. Itu memang ada benarnya. Pengetahuan mudah membuat
orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong,
seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-akan ia pasti lebih
maju daripada orang yang saleh. Akan
tetapi, di lain pihak, orang yang bicara atas nama agama juga dapat berdosa
karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia
dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam
pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu. Jadi, dengan cara mengadakan
"perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di
atas tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan
agama yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu
terlebih dahulu membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
1. Tiga
Pandangan Ekstrem
Untuk
membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita
bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing
pandangan hanya menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga
pandangan itu adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme. Sikap rasional tidak menuntut agar segala
sikap harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah". Sikap rasional
justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu
masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup, kita tergantung kepada
pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Misalkan kita belum pernah
pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau kita yakin bahwa
kota itu ada; kalau pun kita pernah bermaksud pergi ke sana, kita tetap tidak
dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara
Irian Jaya dan bahwa kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan
sikap rasional, kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain,
adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang kadang-kadang lebih dapat
dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke kepala kita). Sikap
rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum kita
mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati
betul-betul masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita
memang dipersoalkan, kita tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada
kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di sekeliling
kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimengerti dan
dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan itu. Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam
tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak
tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap
rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan
menjawabnya. Sikap rasionalisme lebih
dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu apapun yang tidak
dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada pengalaman
masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya
pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya.
Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka
rasionalisme adalah lawan agama. Akan
tetapi, seperti kami tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional.
Karena, ia berawal dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi
: Yaitu bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis
yang taat azas sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala
perbuatan mengandaikan hal-hal yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek
setiap kali mau makan, apakah dalam makanan itu tidak ada bisa?) Yang harus dituntut adalah sikap rasional,
sebagaimana akan kami perlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme. Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme.
Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada
iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia
tidak perlu. Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup
dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran,
kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat
juga berwujud pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala
pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri
hakiki wahyu Allah. Sikap terakhir itu
menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat
dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai
(dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang
benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam
sumber wahyu itu. Fideisme pada
hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga
ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan
yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil
nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.
Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran :
Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan.
Misalnya, sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang
evolusi jenis-jenis makhluk hidup di dunia selama beratus-ratus juta tahun.
Sedangkan sebagai orang beriman kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan
sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.
Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap
ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip
non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi
kita sudah berumur beratus-ratus juga tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang
bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai
berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya.
Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar. Maka,
menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap
ini membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.
2. Pandangan
Seimbang
Apabila
kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi
jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya.
Yang kita cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat
menerima serta menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu,
tetapi menghubungkannya satu sama lain. Kita mulai dengan fideisme. Fideisme
mementingkan iman, percaya kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada
Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu benar. Kalau
Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran, maupun
dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar dan
merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan
hidupnya atas wahyu Allah. Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang
seharusnya membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar
perlu dipergunakan, bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak
mau bernalar. Mengapa ? Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah,
termasuk akal budi dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu
berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak mungkin
dua-duanya secara prinsip bertentangan.
Jadi,
adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar,
artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang
bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka
hanya ada satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau
hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut
isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang akan
berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik tertentu.
Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu. Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar
yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara
radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara moral
karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan
karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa
semakin alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki
dan mengetahui.
Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu. Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka. Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari). Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing. Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan mendalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau oleh-Nya). Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yang juga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalar yang justru juga diberikan oleh Allah. Seakan-akan wahyu membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena sikap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri. Oleh karena itu dapat juga dikatakan : Apabila nalar mau menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya : Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa ada hidup serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera ; Semua hal ini kita cari jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar. Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut kami, kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.
Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu. Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka. Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari). Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing. Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan mendalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau oleh-Nya). Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yang juga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalar yang justru juga diberikan oleh Allah. Seakan-akan wahyu membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena sikap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri. Oleh karena itu dapat juga dikatakan : Apabila nalar mau menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya : Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa ada hidup serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera ; Semua hal ini kita cari jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar. Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut kami, kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi
politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing
suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik
yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik
dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya
berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya
pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain.