Sejak dahulu
orang Aceh sudah hidup berkelompok. Mereka saling berinteraksi sesama dan
membentuk komunitas dengan pola hidup yang khas. Kekhasan itu tercermin dalam
berbagai hadih maja yang berkaitan dengan strata kemasyarakatan dan pola
hubungan antarorang dalam masyarakat tersebut.
Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem
organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang
bernuansa Islami, bersyariat, dalam hal ini syariat Islam. Karena itu, sejak
dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong
meuateueng, ureueng meunama.” ‘Negeri bersyarak, kebun berpagar,
sawah berpematang, orang bernama’.
Hadih maja ini menyiratkan bahwa sebuah komunitas mestilah
memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat
berguna dalam rangka membangun sebuah kehidupan yang harmonis.
Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kerajaan, keharmonisan
tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit
dalam komunitas tersebut. Bukankah sejak dahulu kita sudah sangat akrab dengan
hadih maja Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak
Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. AtauAdat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm
bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara.
Hadih maja di atas secara tersurat menyebutkan bahwa persoalan
adat-istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para
raja dan diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan
hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para
raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan,
menghidupkan kembali, dan takut sekali melanggar adat (walau kadang
bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini merupakan pengejawantahan
pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan,
tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, “Boh malairi ie paseueng
surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut,
adat nenek moyang hendaklah diturut’.
Ungkapan ini memang mengisyaratkan anjuran agar seseorang tidak
menggugat ataupun merusak adat-istiadat yang berkembang dalam masyarakat,
karena adat tersebut merupakan warisan nenek moyang, datôk nini.
Akhir-akhir ini, Aceh didera oleh multikirisis sehingga usaha
untuk mempertahankan adat-istiadat tampak mulai berjalan pincang. Ritual
kehidupan beradat-istiadat hanya mungkin dilakukan oleh anggota masyarakat
yang kehidupan sosial ekonominya relatif mapan. Sebaliknya, dalam masyarakat
bawah, masyarakat yang tidak memungkinkan melaksanakan persyaratan keadatan
secara penuh, mulai terjadi penafsiran-penafsiran. Mereka berusaha menyesuaikan
dan memenuhi persyaratan keadatan sesuai dengan kemampuannya. Barangkali,
kemudahan yang diisyaratkan dalam ungkapan “Adat jeuet beuranggahoe
takông, hukôm h’an jeuet baranggahoe takieh”, ‘adat dapat seenaknya
didobrak, hukum tak dapat seenaknya dikiaskan’ digunakan sebagai dasar
pembenaran untuk itu. Adat, dengan demikian, menjadi suatu yang fleksibel,
sesuatu yang dapat disesuaikan.
Hal yang kontradiktif justru terjadi dalam persoalan kepatuhan
terhadap hukum. Satu hal yang patut diacungi jempol dalam kehidupan sosial
masyarakat kelas bawah di Aceh masa lalu hingga hari ini ialah kepatuhan mereka
terhadap hukum. Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa adat dapat saja dilanggar,
tetapi hukum tidak dapat seenaknya ditafsirkan atau diputarbalikkan. Hukum bagi
masyarakat kelas bawah dimaksudkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang
direlai oleh Allah, berkeadilan, dan harmoni.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kita sering membaca atau mendengar
kabar tentang lemah dan porak-porandanya hukum di tangan penguasa. Kecanggihan
penguasa dalam menafsirkan dan memanfaatkan titik-titik lemah hukum telah
menyebabkan mereka bertindak sewenang-wenang, lupa diri, dan tak lagi
berperikemanusiaan. Hukum sudah menjadi komoditas dan ditafsirkan sesuai
dengan keperluan. Itu sebabnya, barangkali, sejak dahulu nenek moyang kita
mengingatkan agar hati-hati dalam memberikan kekuasaan pada seseorang.
Sebab, “Meuri-ri urot taikat beunteueng, meuri-ri ureueng tabôh keu
raja.”
Dalam hadih maja yang lain disebutkan secara rinci karakteristik
seorang raja atau pemimpin ideal. Seorang pemimpin yang ideal bukanlah orang
yang tayue jak di keue jitôh geuntôt, tayue jak di likôt jisipak
tumèt, tayue jak bak teungoh jimeusingkèe. jika demikian,pane patôt
jeuet keu pangulèe.
Di samping itu, pimpinan beserta rakyat yang dipimpin harus
memiliki tatakrama atau manajemen kepemimpinan yang baik. Rakyat dan pemimpin
harus sejalan, saling mendukung, dan mencegah terjadinya berbagai hal yang
merugikan. Hal ini antara lain terungkap dalam “Paléh tanoh cot teungoh
kureueng asoe, paléh inong jiteumanyong ‘oh jiwoe lakoe, paléh agam sipat kuwah
bileung asoe, paléh rakyat jimeu-upat rata sagoe, paléh raja jideungo haba
baranggasoe.”
Pola pandang yang khas terhadap sistem kepemimpinan dan kehidupan
sosial dalam masyarakat Aceh di atas tentu saja dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya disharmoni, ketakseimbangan, kekacauan dalam masyarakat. Karena,
bagaimanapun, menjadi pemimpin itu adalah amanah untuk jangka waktu tertentu,
bukan untuk selama-lamanya. Yang kekal hanyalah kehidupan dan kekuasaan Allah. “Raja
donya h’ana meugantoe, raja nanggroe meutuka-tuka.” Demikian
dinukilkan ureueng Aceh dalam kearifannya.