Upacara Perkawinan Dalam Adat Aceh
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di
dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai
keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh
masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian
aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh
(suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum
pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan
upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki
pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya
diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat,
dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka
diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat
wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di
samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai
(mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a
(khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto
baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui,
maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing
ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk
menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara
baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara
baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai
dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah
seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah
pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya,
kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah
pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto
baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara
baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain
menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga
memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya
didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka
rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula
dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di
rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro
masih di rumah dara baro sampai siang..