Gairah
Kapitalisme dalam Qanun Wali Nanggroe
Kapitalisme atau juga dikenal sebagai paham kapitalis yang banyak diusung
oleh Western Countries dalam menerapkan kebijakan ekonominya,
memiliki arti yang kurang lebihnya adalah penerapan ekonomi yang berbasis padaprivate
sector yang meletakkan pemilik modal sebagai subjek pelaku pasar yang
bebas tanpa intervensi pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya, sementara itu intervensi pemerintah dalam ekonomi lebih
bersifat pribadi, bukan dalam kebijakan. Perkembangan inilah yang ditilik
dengan membaca qanun Wali Nanggroe yang baru saja disahkan oleh DPRA awal
November lalu.
Entah apa yang merasuki
benak para pengambil kebijakan negeri syariah ini, dimana Islam sebagai
landasan dari semua budaya lokal yang berkembang di Aceh sejak lama, justru
hanya dijadikan pajangan ataupun topeng kapitalisme yang diusung oleh para
pengambil kebijakan di Aceh. Dalam
struktur Wali Nanggroe dibentuk beberapa majelis di bawah Wali Nanggroe seperti
Majelis Ekonomi, majelis Pertambangan dan Energi, Majelis Hutan Aceh dll yang
kurang lebihnya memiliki tugas dan wewenang yang hampir serupa dengan SKPA
Pemerintahan Aceh. Selain dikhawatirkan adanya tumpang tindih tanggung jawab
dan kemungkinan adanya saling melempar tanggung jawab, majelis-majelis bentukan
Wali Nanggroe ini sangat rawan dalam penerapan kapitalisme di Aceh yang mengacu
pada para pemilik modal yang didukung oleh pengambil kebijakan.
Berlandaskan pernyataan dari Abdullah Saleh anggota DPRA dari Fraksi
Aceh, bahwa kehadiran lembaga mirip SKPA bukan menjalankan kerja dalam hal
teknis hanya pada perumusan kebijakan saja. Jika benar demikian,
artinya hanya pada perumusan kebijakan saja, lalu sebenarnya siapa pengambil kebijakan pemerintahan Aceh?
Gubernur pilihan rakyat ataukah Wali Nanggroe yang ditunjuk oleh Partai
Aceh?? Kebijakan pengolahan lahan, tambang dan energi serta ekonomi
harus didasarkan pada pembangunan SDM dan pemberdayaan rakyat Aceh, bukan pada
sektor private yang merupakan perkumpulan para pemilik modal besar yang
di back up oleh pemerintah/Wali Nanggroe. Lebih daripada itu,
Wali Nanggroe sejatinya adalah lembaga adat yang berfungsi sebagai simbol
pemersatu, artinya sebagai simbol yang dihormati dan dipercaya rakyat Aceh
secara adat dapat memegang adat dan budaya Aceh secara utuh dan erat. Bukan
lembaga yang mencampuradukkan politik, kekuasaan dan adat yang pada akhirnya
justru mencampuri tugas pemerintahan Aceh dan melupakan tugasnya sendiri
sebagai lembaga adat. Jika ketumpangtindihan ini tetap akan dilanjutkan, maka
konsekuensinya akan terjadi pemborosan anggaran belanja daerah, inefisiensi
pembangunan, serta akan memperburuk citra pembangunan provinsi Aceh di mata
nasional juga internasional.
Bagi saya pribadi, qanun
yang sudah diparipurnakan DPRA ini juga belum final, artinya harus diajukan
dulu ke Gubernur Aceh selaku eksekutif untuk kemudian dilaporkan ke Kemendagri
untuk diperiksa. Artinya masih panjang proses pengesahan qanun yang menurut
saya terlalu prematur dan absurd dalam penentuan tugas dan
tanggung jawab dimana tumpang tindih dan semangat kapitalisme asing masih lekat
dalam pembuatan qanun ini. Sehingga menurut saya, DPRA, Gubernur dan
perangkatnya serta rakyat Aceh perlu betul-betul secara seksama bahwa qanun ini
dapat bersifat fleksibel dan betul-betul fokus kepada tugas pokoknya sebagai
pemersatu dan pemelihara adat Aceh agar benar-benar mendatangkan manfaat bagi
rakyat Aceh tidak saja sekarang tapi juga di masa yang akan datang.jangan
sampai terjadi reformasi di aceh ini karena qanun tersebut merugikan masyarakat aceh. sudah cukup masyarakat aceh
menderita pasca konflik dulu,jangan ditambah lagi luka akibat keserakahan pemimpin
aceh. Yang dibutuhkan masyarakat aceh sekarang ialah kebebasan dan
kesejahteraan.