MEMAHAMI BUDAYA MASYARAKAT ACEH DALAM PENCARIAN KEADILAN




P
erkembangan hukum biasanya sering tertinggal dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, hakim di pengadilan dalam menjalankan fungsi mengadili kadang kala berhadapan dengan kasus atau peristiwa yang belum diatasi hukumnya secara tertulis atau sudah diatur tapi tidak jelas.
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau belum jelas. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat [1] UU No. 4 Tahun 2004).
Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk menyelesaikan persoalan/kasus kongkrit, diharapkan hakim harus menempuh jalan keluar yaitu melalui penemuan hukum (Rachtsvinding).
Hakim bukan mulut undang-undang atau mulut hukum positif pada umumnya. Demikian pula hakim tidak sekedar menerapkan bunyi suatu perjanjian yang merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Hakim adalah mulut kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan bertentangan, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum.
Dalam upaya memberi keadilan yang diinginkan oleh masyarakat, seyogyanyalah hakim harus memahami dan mendalami budaya masyarakat dimana dia bertugas.
Budaya Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya (adat) yang identik dengan Islam. Hal ini sesuai dengan ungakapan yang sangat populer dalam masyarakat Aceh: “Adat bak po Teumeureuhom Hukum bak Syiah Kuala, Antara hukum ngon adat lage zat ngon sipheut.”
Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak semua menjalankan syariat dengan baik.
Islam yang datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi Mekah”. Dari perkawinan ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat, diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa.
Keuchik dan Teungku
Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungakapan populer yang berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya : “Yang rayek tapeu ubit, nyak ubit tapengadoh” artinya “Masalah kecil jangan diperbesar, kalau dapat dihilangkan.”
Juga ungakapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya : “Meunya Tatem Ta megot-got harta bansot syedara pihna”, artinya: “Bila mau berbaik-baik harta/biaya tidak habis, atau persaudaran tetap terpelihara.”
Keterbukaan dan Taat Hukum
Budaya masyarakat Aceh yang dipengaruhi nilai-nilai Islam adalah sangat terbuka dan mudah menerima perubahan, asal perubahan ini baik dan membawa manfaat, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam bidang hukum, misalnya, masyarakat Aceh dapat menerima perubahan dan pembaruan hukum dalam UU Perkawinan dan KHI seperti pencatatan perkawinan, keharusan perceraian di depan pengadilan, pembatasan poligami. Demikian pula ketentuan hak anak angkat dalam kewarisan dan ahli waris pengganti.
Ketentuan pembagian Harta Bersama akibat perceraian atau meninggalnya salah satu pihak dimana suami-istri mendapat bagian yang sama juga dapat diterima, meskipun sebelum lahirnya KHI praktek yang berlaku di masyarakat Aceh. Dalam pembagian Harta Bersama suami mendapat lebih banyak dari isteri, yaitu berbanding dua bagian.
Angka jumlah perkara yang tinggi di Mahkamah Syariah Aceh juga merupakan salah satu wujud sikap budaya masyarakat Aceh yang taat dan sadar hukum, meskipun kadang kala masyarakat harus menempuh perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer ke pengadilan (Mahkamah Syariah). Nikah sirri atau perkawinan di luar pengadilan (Mahkamah Syariah) tidak terlalu menonjol di Aceh.
Kritis terhadap Keadilan
Masyarakat Aceh sangat menghormati penegakan keadilan, baik dalam lingkungan keluarga, ketika orang tua memberikan hibah kepada anak-anaknya maupun penegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Beberapa waktu di masa lalu sering kita mendengar ungkapan dalam masyarakat “Pancuri manak lan tutupan, pancuri intan lan istana”. Artinya: ”pencuri ayam masuk penjara, pencuri intan dibebaskan dari hukuman.” apakah ungkapan tersebut merupakan kritikan/sindiran terhadap penegakan hukum yang berjalan pada waktu itu, atau merupakan harapan kepada penegak hukum untuk berlaku adil atau menegakkan hukum terhadap siapapun tanpa pandang bulu.
Dalam pelaksanaan syariat Islam pun masyarakat sangat kritis. Sebagian masyarakat Aceh masih beranggapan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh hanya ditujukan untuk orang-orang kecil/rakyat biasa, tidak untuk pejabat, karena mereka melihat yang dicambuk hanya rakyat biasa.
Mengingat perjuangan panjang dan tidak mengenal lelah oleh rakyat Aceh dalam memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam, Pemerintah pusat pun telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain:
1. UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh;
2. UU No. 18 Tahun 2001 Tentang OTSUS Bagi NAD (telah dicabut);
3. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pemerintah Daerah Aceh juga telah mengeluarkan beberapa Qanun yang mengatur pelaksanan syariat Islam di Aceh, seperti:
1. Qanun tentang peradilan syariat Islam;
2. Qanun tentang Pelaksanaan Syariah Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam;
3. Qanun tentang Khamar (minuman keras);
4. Qanun tentang Maisir (perjudian);
5. Qanun tentang Khalwat (perbuatan mesum);
6. Qanun tentang Pengelolaan Zakat;
7. Qanun tentang Baitul Mall;
8. Pembentukan Dinas Syariat Islam;
9. Pembentukan Badan Dayah;
10. Pembentukan Satpol PP dan Wilayatul Hisbah;
11. Dan lain-lain.
Pelaksanaan syariah Islam di Aceh merupakan keinginan rakyat Aceh yang dilakukan dengan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
Dilakukan secara bertahap;
Tidak dengan kekerasan;
Melalui peningkatan kesadaran/kecerdasan;
Dalam konteks hukum nasional;
Menghadirkan rahmat dan peningkatan peradaban;
Meningkatkan kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah;
Tanggung jawab bersama Pemerintah Daerah dan masyarakat;
Hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam;
Non muslim dapat menundukkan diri.
Fungsi dan Peran Mahkamah Syariah:
Bahagian dari alat kelengkapan daerah (OTSUS)
Kehadiran Mahkamah Syariah jangan menakutkan
Memberi pendidikan melalui putusan dan pelayanan
Melahirkan rahmat bagi masyarakat
Memelihara independensi.