Hikayat
Perang Sabi “Bukan Sekadar Kata”
Oleh Tri Sahubhi Abdillah - Sastra
bagi masyarakat Melayu merupakan bagian dari kehidupan. Nilai-nilai sastra
terkandung dalam setiap ucap lampah orang Melayu. Termasuk orang Aceh. Sejarah
Aceh telah menunjukan kepada kita, bahwa Aceh telah melahirkan banyak sastrawan
yang gemilang. Berbagai jenis karya sastra bisa ditemukan dalam khazanah
kesusastraan Aceh klasik.
Hamzah Fanshuri kita kenal sebagai “Bapak
Kesusastraan”.Lantas kita pun mengenal Ar-Raniri sampai A. Hasjmy. Jenis sastra
Aceh pun beragam. Ada habo (khabar), pantun, syair, hikayat, dan lainnya.
Salah satu yang istimewa dari khazanah kesusastraan Aceh
ialah banyaknya sastra yang menggelorakan semangat jihad fi sabilillah. Contoh
dari karya jenis tersebut antara lain Hikayat Prang Peuringgi, suatu karya
sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh untuk
melawan Portugis. Ada pula, Hikayat Prang Kompeuni, karya seorang ulama bernama
Abdul Karim atau lebih dikenal sebagai Do Karim. Selain itu kita mengenal
Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chik Pantee Kulu. Karya terakhir merupakan
karya luar biasa yang telah menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk senantiasa
tabah dan berani melawan Belanda.
Chik Pantee Kulu merupakan seorang ulama yang lama tinggal
di Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Di tanah suci beliau
banyak membaca karya epos perang di zaman Rasul, seperti Hikayat Perjuangan
Hasan bin Tsabit, Hikayat Pejuang Khalid Bin Walid, Hikayat Perjuangan Kaab bin
Zubair, dan Kepemimpinan Umar bin Khaththab, yang semuanya tertuang dalam
syair-syair berbahasa Arab yang bercita rasa sastra tinggi.
Chik Pantee Kulu mengetahui Aceh dianeksasi Belanda pada
Januari 1873. Pada 1881 penyair ini pulang ke Aceh dengan menumpang kapal laut.
Di perjalanan ia menulis Hikayat Prang Sabee (Hikayat Perang Sabi).
Hikayat Perang Sabi terdiri dari pendahuluan (mukadimah) dan
empat bagian isi. Bagian pendahuluan menunjukan tujuan ditulisnya hikayat dan
seruan untuk perang di jalan Allah melawan kafir (Kaphe) Belanda. Disebutkan
juga barang siapa yang syahid di dalam perang Sabil akan masuk surga dan
disambut oleh bidadari (Mardhiyah).
Bagian selanjutnya ialah Kisah Ainul Mardhiyah. Bagian ini
berkisah tentang penyambutan ratu bidadari surga bagi mereka yang syahid dalam
perang di jalan Allah. Diceritakan seorang pemuda yang bermimpi bertemu Ainul
Mardhiyah di surga. Keesokan harinya sang pemuda dengan tanpa gentar maju ke
medan perang. Ia pun syahid dan benar-benar bertemu dengan Ainul Mardhiyah.
Kisah kedua ialah Kisah Pasukan Gajah yang bertutur
kegagalan pasukan bergajah untuk menghancurkan Kabah pada 570 M. Dikisahkan
Kota Mekah diserang oleh Kerajaan Habsyah dan sekutu-sekutunya dengan tentara
bergajah. Ketika sampai di Mekah pasukan bergajah diserang penyakit dan
akhirnya gagal meruntuhkan Kabah.
Kisah ketiga ialah Kisah Said Salmy. Diceritakan seorang
pemuda yang buruk rupa yang beristrikan seorang putri cantik rupawan. Pemuda
bernama Said Salmy tersebut lantas pergi ke medan jihad. Dalam peperangan Said
Salmy syahid di jalan Allah. Namun ia “hidup” kembali sebagai pemuda tampan dan
setiap malam ia muncul untuk menemui sang istri.
Kisah
terakhir ialah Kisah Budak Mati Hidup Kembali yang bercerita tentang pahala
seorang mujahid yang kembali dari medan perang. Allah menghidupkan kembali anak
yang sang mujahid pertaruhkan sebelum berangkat ke medan pertempuran.
Walaupun tiga kisah selain Kisah Pasukan Bergajah merupakan
sebuah rekaan (fiksi) tetapi semuanya dapat membangkitkan semangat dan
menggelorakan Muslim Aceh untuk berlaga di medan jihad. Para pejuang Aceh
datang ke Medan laga dengan menanggalkan rasa takut terhadap kematian. Mereka
menerjang bahaya dengan suka cita. Cinta kepada Allah telah meruntuhkan cinta
kepada hidup dan dunia.
Gelora juang dan ketabahan Rakyat Aceh dalam perang melawan
Belanda tentu, sedikit banyak, saja dipengaruhi Hikayat Perang Sabi. Di sinilah
tergambar sesunggunya bahasa memiliki kekuatan lain selain alat untuk
berkomunikasi. Hikayat Perang Sabi bukanlah sekadar kata-kata. Sastra ini telah
merangsang kesadaran manusia untuk meraih akhirat dan tidak mengagungkan dunia.
Sastra
tentu saja bukan sekadar keindahan dan hiburan. Terdapat fungsi-fungsi lain
dari sastra yang bersifat transendental, fungsi-fungsi yang malampaui
nilai-nilai materi.
Dunia sastra hari ini sesungguhnya memiliki tugas yang sama
dengan Hikayat Perang Sabi. Sastra seharusnya bisa mengabarkan kenyataan dan
mendorong kesadaran keagamaan manusia. Keindahan kata-kata dapat mengantarkan
manusia pada penghayatan semesta.
Kondisi dunia hari ini sungguh membutuhkan karya sastra
semacam Hikayat Perang Sabi. Kaum Muslimin, terutama kaum muda, telah lama
dilenakan oleh karya seni yang hanya melenakan dan membuat lupa. Banyak muslim
yang terpuruk dan kurang bersemangat dalam menghadapi persoalan-persoalan.
Kata-kata dalam karya sastra seharusnya mampu membangkitkan semangat mereka.
Kata yang bukan sekadar kata. Hikayat Perang Sabi: Bukan Sekadar Kata.