Formalisasi Peradilan Adat Aceh, Mungkinkah?



Formalisasi Peradilan Adat Aceh,
Mungkinkah?

SISTEM hukum di Indonesia memang tergolong unik dibandingkan dengan sistem-sistem hukum lainnya di dunia. Meskipun sistem hukum asalnya merujuk kepada civil law dengan mengikut bawaan sistem hukum peninggalan kolonial Belanda, di mana hukum tertulis dan kodifikasi menjadi dasar berlakunya hukum. Tetapi dalam praktiknya, sistem hukum Indonesia juga condong kepada sistem hukum common law yang dianuti oleh Negara-negara seperti Inggris, Malaysia, Amerika. Malah khusus bagi Aceh diberi peluang menerapkan sistem hukum Islam dan sistem hukum adat dalam arti materil dan formil.

Dalam teropong pakar politik hukum seperti Mahfud MD, bahwa salah satu hal yang mendorong wujudnya suatu sistem hukum dikarenakan adanya konfigurasi politik hukum tertentu yang melandasi lahirnya suatu sistem hukum. Makanya ketika Belanda melakukan penjajahan dahulu, politik hukum yang dibawa mereka ialah mengakui berlakunya hukum adat (dalam arti materiil) dan peradilan adat (dalam arti formil). Hal ini jelas bertujuan untuk melanggengkan keberadaan VOC di Batavia (Jakarta sekarang) dari serbuan penduduk pribumi yang sudah mulai resah dengan sistem ekonomi yang dibangun oleh VOC. 

Kemudian dalam perjalanannya, Hindia Belanda selalu kewalahan dalam menghadapi perlawanan dan gempuran pejuang-pejuang yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan atau perlawanan dari kerajaan-kerajaan. Tidak hanya itu, Hindia Belanda juga dibuat panik dan tidak dapat membendung ajaran agama Islam yang berkembang sangat cepat utamanya di Aceh dan Sumatera Barat. Sehingga hukum modern yang mereka bawa tidak dapat dijalankan secara optimal. Kebanyakan rakyat lebih suka mengikut hukum menurut ajaran agama Islam.

Pada masa Snouck Hurgronje menjadi penasihat Pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1889-1936. Ia telah menasihatkan Direktur Kehakiman Hindia Belanda yakni pada 18 April 1893, 15 Februari 1895, 14 Juli 1896, dan 18 Agustus 1904. Pada 18 September 1896 serta pada 26 September 1903. Ia juga menasihatkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan nada yang hampir sama. Ia menyebutkan bahwa pengaruh agama yang ia sebut sebagai agama/syariat Mohammadan (baca: ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw) kepada penduduk tempatan dapat menghilangkan kepercayaan mereka kepada pemerintah Hindia Belanda dan malah akan mengakibatkan peradilan-peradilan yang dibentuk oleh Belanda tidak akan berjalan.


 Nasihat Snouck
Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje semasa kepegawaian kepada pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936 terlihat jelas kalau pemerintahan Hindia Belanda sangat kelabakan menghadapi perlawanan  rakyat ketika itu, terutama karena pesatnya perkembangan ajaran Islam. Sehingga jalan satu-satunya menurut Snouck agar ajaran Mohammadan berkurang dan tidak berdampak langsung kepada kolonial maka perlu di cari cara pelemahan.

Ada delapan poin penting dari nasihat Snouck yang patut kita waspadai yaitu: Pertama, ia menyadari bahwa adanya usaha-usaha dari pihak Mohammadan yang akan merugikan pihak Belanda, bahkan dengan itu usaha Belanda untuk merubah perundangan juga tidak akan berahasil malah akan merugikan dan mengacaukan;

Kedua, Adat perlu dibiarkan mempunyai wataknya sendiri yakni bersifat berubah-ubah, luwes, lokal dan berbeda-beda dalam berbagai bentuk; Ketiga, perlu dilakukan kodifikasi adat agar menghilangkan wataknya sehingga dapat menghalang-halangi berkembangnya ajaran Islam;

Keempat, karena ajaran mohammadan dalam pembuktian hukum tidak terlalu mementingkan saksi, maka adat yang selama ini menggunakan banyak saksi dalam keadaan sekarang harus dianggap sebagai sesuatu yang tak perlu lagi dan sudah ketinggalan zaman;

Kelima, dengan perantara pembuat undang-undnag harus selekas mungkin diikhtiarkan agar adat tetap melestarikan wataknya. Maksudnya penerapannya, penegakannya, penjabaran dan perkembangannya meskipun dibawah pengawasan Eropa, tetapi hakim Eropa tidak dapat begitu saja mengenyampingkan penegak hukum adat yang sudah ada.

Keenam, dilakukan pembiaran berlakunya adat, dengan itu maka dalam tangan mereka pastilah berangsur-angsur akan berkembang adat tersebut dan berubah bentuk. Seandainya pembuat undang-undang berbangsa Eropa serta pemerintah daerah membayangkan tujuan jangka panjang maka perlu diarahkan kepada adanya penyeragamanadat;

Ketujuh, perlu dihapuskan secara berangsur-angsur apapun yang tidak dapat ditegakkan/diterima dalam hukum modern, dan; Kedelapan, hendaklah ada usaha-usaha untuk melawan serangan revolusioner atas hukum itu yang dilakukan oleh perangkat-perangkat agama/ajaran Mohammadan.

Delapan nasihat Snouck Hurgronje tersebut sungguh mencengangkan kita. Di satu sisi ia mau melanggengkan adat dengan jalan pengkodifikasian, tetapi dari sisi yang lain ternyata tujuannya ialah agar ajaran Islam tidak berkembang.


 Peradilan Adat
Upaya yang mendorong kepada pemformalan peradilan adat oleh Majelis Adat Aceh (MAA) dan beberapa lembaga lainnya di Aceh patut pula kita sahuti dan hargai. MAA telah melakukan training kepada hampir seluruh perangkat adat di Aceh dan sekaligus menyosialisasikan penggunaan buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh.

Dengan adanya buku tersebut diharapkan setiap kasus adat yang terjadi di Aceh dapat ditempuh dengan prosedur (baik tahapan proses maupun tatacara pencatatan kasus) sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam buku tersebut. Tentu usaha ini dilaksanakan setelah adanya kajian-kajian mendalam tentang manfaat dan pentingnya formalisasi peradilan adat jauh-jauh hari sebelumnya.

Barangkali penting kita ingatkan di sini bahwa upaya formalisasi tersebut lambat-laun tidak akan dapat dibendung dan akan berujung kepada pengodifikasian (diatur dalam undang-undang), seperti nasihat Snouck di atas. Ini berarti peradilan adat akan sama maknanya atau fungsinya dengan peradilan Negara pada umumnya.


Formalisasi ini terasa kian dekat setelah lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terutama Pasal 96 ayat (1) mengenai Lembaga Wali Nanggroe yang Qanunnya telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) beberapa waktu lalu. Sebelumya, pada 2008 telah pula lahir Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat, dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Sekarang terpulang kepada kita dalam menyikapinya. Apakah formalisasi peradilan adat di Aceh akan menambah terjamin keadilan hukum yang dicita-citakan rakyat atau malah akan bertambah mengacaukan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Wallahu’alam.