Hukum
Islam di Aceh
HARIAN Serambi Indonesia edisi, Sabtu 2 Juni
2012 menurunkan dua laporan tentang syariat Islam di Aceh. Berita pertama
menurunkan laporannya dengan judul “Pro-Kontra Qanun Jinayah”, dan berita ke
dua menulis judul “Pasal Rajam di Cabut”. Dalam laporan itu mengutip sejumlah
pernyataan dari sejumlah pejabat daerah, politisi, agamawan, dan penggiat Hak
Asasi Manusia (HAM) di Aceh.
Jinayah merupakan bentuk dari verbal noun
(masdar) dari kata jana. Secara etimologi, jana berarti berbuat dosa atau
salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah (Ma’luf,
1945:88). Kata jinayah dalam istilah hukum adalah sering disebut dengan delik
atau tindak pidana. Jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’
karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal.
Dalam Qanun Jinayah dan Qanun Hukum Acara
Jinayah ada mengatur tentang khamar, maisir, khalwat, dan rajam. Namun, terkait
masalah rajam masih terjadi perdebatan. Menyangkut rajam ini termaktub dalam Pasal
24 ayat 1: Setiap yang dengan sengaja melakukan zinah diancam dengan ‘uqubat
hudud 100 kali cambuk bagi yang belum nikah dan ‘uqubat rajam sampai mati bagi
yang sudah menikah.
Sebenarnya tarik-ulur berkenaan dengan syariat
Islam bukanlah hal baru di Aceh. Nilai tawar syariat Islam adalah amunisi ampuh
para politisi merebut simpatik rakyat Aceh. Buktinya, sejarah juga telah
menorehkan tinda emas betapa ampuhnya isu syariat Islam membuat para politisi
bertepuk dada menyakinkan para agamawan dan rakyat Aceh.
Perjanjian tertulis
Dulu, pascakemerdekaan Republik Indonesia, misalnya, Presiden Soekarno pernah berjanji memberikan kewenangan Aceh untuk memberlakukan hukum Islam di bumi Serambi Mekah ini. Ketika itu, Soekarno meminta kepada Tgk Daud Beureueh untuk membantu perang antara Indonesia melawan Belanda.
Dulu, pascakemerdekaan Republik Indonesia, misalnya, Presiden Soekarno pernah berjanji memberikan kewenangan Aceh untuk memberlakukan hukum Islam di bumi Serambi Mekah ini. Ketika itu, Soekarno meminta kepada Tgk Daud Beureueh untuk membantu perang antara Indonesia melawan Belanda.
Daud Beureueh akan meyanggupi permintaan
Soekarno dengan dua syarat, yakni: Perang berlandaskan fisabilillah, dan Aceh
diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam nantinya. Soekarno pun
menyanggupi dua syarat tersebut. Saat itu, Daud Beureueh meminta perjanjian
tertulis sebagai bukti untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh.
Namun, Soekarno tidak menyanggupi permintaan
hitam di atas putih itu. Soekarno dengan menangis tersedu-sedu menyakinkan Daud
Beureueh tidak akan mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh. Namun, selepas
perang usai melawan Belanda, janji Soekarno itu tidak ditepati.
Tidak hanya itu, isu penerapan syariat Islam
kembali mencuat dimasa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dus). Saat itu,
Gus Dur berkomentar bahwa orang Aceh meminta Syariat Islam, bukan meminta
kemerdekaan.
Begitu juga pada masa kepemimpinan Megawati,
menindak lanjuti UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam
kebijakan. Presiden Megawati
mempertegas kembali dengan menandatangani lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus. UU tersebut mengatur tentang pembentukan Mahkamah
Syar’iyah di Aceh.
Tetap berlanjut
Sepintas, jalan menuju pintu hukum Islam yang disutradarai oleh para politisi ketika itu, sejenak membuat rakyat Aceh lupa dengan isu kemerdekaan dan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Namun, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia tetap berlanjut di Aceh, kenyamanan masyarakat masih saja terusik.
Sepintas, jalan menuju pintu hukum Islam yang disutradarai oleh para politisi ketika itu, sejenak membuat rakyat Aceh lupa dengan isu kemerdekaan dan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Namun, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia tetap berlanjut di Aceh, kenyamanan masyarakat masih saja terusik.
Pada masa damai Aceh, dan lahirnya lahirnya UU
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 11 UU ini menjelaskan
bahwa masyarakat Aceh diberi keleluasan dalam berserikat dengan membentuk
partai lokal Aceh. Sejumlah partai nasional dan partai lokal pun memeriahkan
pesta demokrasi di Aceh.
Tidak bisa ditampik, masa kampanye partai
politik berlomba-lomba menghembuskan isu syariat Islam untuk merebut hati
rakyat Aceh. Mungkin saja para politisi telah belajar dari sejarah para
pendahulunya betapa ampuhnya janji hukum syariat Islam membuat rakyat Aceh
luluh hatinya untuk memberi dukungan secara moral dan material.
Partai sebagai mesin politik akan selalu ada
kepentingan menyelimutinya untuk mencapai tujuan kekuasaan, termasuk dengan
mengambinghitamkan hukum Islam. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih antara kepentingan partai politik dan agama.
Lihat saja, sejak Qanun Jinayah bergulir ke
ranah publik pada 15 September 2009 silam, saat DPRA mengesahkan Qanun Jinayah
sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pengesahan qanun itu
telah menghindupkan perdebatan tentang formalisasi syariat (hukum) di Aceh.
Berbeda pendapat
Selain itu, antara legeslatif selaku pembuat UU, dan eksekutif sebagai pelaksananya masih berbeda pendapat. Perbedaan pendapat antara legeslatif dan eksekutif cukup memberi isyarat bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh sarat dengan kepentingan-kepentingan elite politik.
Selain itu, antara legeslatif selaku pembuat UU, dan eksekutif sebagai pelaksananya masih berbeda pendapat. Perbedaan pendapat antara legeslatif dan eksekutif cukup memberi isyarat bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh sarat dengan kepentingan-kepentingan elite politik.
Tidak hanya itu, penegakkan syariat Islam pun
jauh dari perspektif keadilan. Ketika masyarakat biasa terjerat perkara
jinayah, sorotan hukum Islam ditimpakan kepada mereka. Namun, ketika para elite
politik atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan terjerat perkara jinayah,
hukum Islam menjadi “kabur”.
Syariat Islam bukanlah nilai tawar para elite
politik. Marilah kita sama-sama menentang para politisi mengobral hukum Islam
untuk kepentingan kekuasaan di Aceh. Alangkah indahnya kita tanamkan kesadaran
hukum Islam dalam benak dan hati setiap insan, bukan hasil produk elite politik
yang jauh dari rasa keadilan.