BUDAYA ACEH memberi nilai amat tinggi terhadap
kerja atau pekerjaan. Penghargaan tertinggi, bahkan menjurus ekstrim terungkap
dalam sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) : “Tukok jok tukok u, nabuet nabu!
(pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau ada kerja).
Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang berkeyakinan
bahwa Allah SWT telah “menaburkan” rezeki bagi segenap makhluk-Nya di muka
bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya.
“meunyo hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau bukan lewat usaha,
tak mungkin harta jatuh dari langit/ atas).
Bila mendambakan keberhasilan; berusahalah sekuat tenaga,
peras keringat, banting tulang;- sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh secara
“gratis”, dengan berdiam diri atau “duek teuseupok meulhok ngon jaroe atau pun
lale tumpang keueng” duduk berpangku tangan atau menopang dagu). “Meugrak jaroe
meu ek gigoe” (singsingkan lengan, dapat mangan; makan). “Rezeki ngon tagagah,
tuah ngon tamita. Tuah meubagi-bagi raseuki meujeumba-jeumba” (Rezeki harus
diusahakan, keberuntungan-tuah; mesti dicari. Pada keberuntungan takdir
Tuhan-lah yang menentukan; begitu pula dengan hal rezeki).
Pepatah Aceh di atas menekankan, bahwa dalam soal
beruntung atau malang nasib insan di dunia, takdir Tuhan juga berperan. Ini
pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa, akibat
kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam
kegiatan berusaha.
Pendorong
Rangsangan utama yang menggairahkan orang mencari nafkah
adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perihal pendorong utama ini, secara
guyon (meukra) sering diucapkan para penjual obat kaki lima di Aceh, bahwa ia
berkelana-menjual obat kemana-mana hanyalah gara-gara “pruet ruhung, ‘atra
nyan’ meugantung” (perut yang selalu minta makan dan perlu beri makan
anak-istri).
Selain faktor pemenuhan kebutuhan hidup, banyak pula
faktor lainnya yang ikut menggairahkan giatnya orang mencari materi. Dorongan
agama, pengaruh lingkungan, pandangan masyarakat termasuklah
perangsang-perangsang yang menentukan.
“Ureueng kaya mulia bak wareh, ureueng gasien meukuwien
lam tapeh” (Yang kaya dimuliakan dan yang miskin disingkirkan). Ungkapan diatas
‘mengingatkan’ bahwa volume pemilikan harta benda sangat menentukan tinggi
rendahnya status seseorang dalam pandangan manusia Aceh (orang Aceh) pada
umumnya. Lantas, apakah masyarakat Aceh pendamba harta materialis? Malah dalam
‘Meutiara kata’ lebih dinyatakan: segala urusan tergantung uang. Terdapat pula
pepatah Aceh yang bernada mengejek seorang lelaki, “Hana peng hana inong” (Tak
punya uang, tak bakal mendapat perempuan; isteri).
Benci
Pemalas
Sikap budaya Aceh pada dasarnya benci kepada orang malas.
Sebaliknya; sangat menghargai pada orang-orang yang rajin bekerja.
Lukisan sikap budaya Aceh terhadap kedua jenis perilaku
manusia ini; tercermin lewat Kristal-kristal budaya yang kita wariskan dari
endatu (nenek moyang) kita sendiri.
“Peue dale dahoh siuroe suntoek, kon tabeudoh laju tajak
mita boh-boh sidom” (Kerjamu melulu hanya nongkrong setiap waktu, kan lebih
baik berangkat mencari ‘telur-telur semut’).
“Bak sibeu-o uteuen luah, bak si malaih raya dawa” (Watak
utama si pemalas adalah mengelak kerja dengan bertengkar mencari-cari alasan).
Banyak sekali ungkapan yang bernada meremehkan si pemalas
dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari. “Teguran” atau nasehat ini
biasanya terselip dalam pembicaraan antar anggota keluarga siapapun dalam
pergaulan para warga desa umumnya.
“Peue lale duek dukhoh siuroe seuntok” (kenapa hanya
nongkrong saban hari). “Hana peue shot buleuen ngon ujong sadeuep” (Tak usah
menjolok bulan dengan ujung sabit; kerja sia-sia). “Bek preh dahoh” (Tak perlu
banyak tunggu!) dan “bek preh geulupak gob top” (jangan mengharap belas kasihan
orang).
Kesemua pribahasa Aceh tersebut diatas adalah sindiran
tajam yang “menusuk hati” bagi orang yang berperilaku demikian. Kritik sosial
ini akan lebih cepat mencapai sasaran, terutama bagi mereka yang memiliki “mata
hati” yang jernih dan terang. Sementara bagi insan-insan yang “klop prip dan
gai bugai” (tak termakan lagi nasehat); petuah sebaik apapun tak bakal lagi
menggugah mereka, terkecuali dengan siraman taufik serta hidayah dari Allah
SWT.
Penghargaan kepada mereka yang rajin (Aceh : Jumot) juga
sering tersentil dalam percakapan sehari-hari. “Nyang meurot cit leumo tummbon”
(orang kaya, memang orang-orang rajin).
“Meunyoe na tatem mita, adak han kaya taduek seunang”
(Asal mau berusaha kalaupun tak kaya; cukuplah makan). Para pedagang obat kaki
lima, biasa pula mengawali gelaran dagangannya dengan pepatah: “Tapak jak urat
nari, na tajak na raseuki” (Kaki berjalan, otot-urat melenggang; insya Allah rezeki
pun dapat).
Biarpun memiliki pupuk budaya kerja yang menyanjung orang
rajin serta mengutuk si pemalas, bukan berarti sibeue-o si-iet (pemalas) itu
tidak mempunyai tempat sandaran kemalasannya. Di antara Hadih Maja (peribahasa)
Aceh yang ‘mendukung’ sifat malas, yaitu: “Atra sikai hanjeuet sicupak, beurang
ho tajak ka dumnan kada” (Soal rezeki, sudah ditentukan Tuhan-tak bisa
diubah-ubah lagi). “Keupeue lethat atra, peue na tapeulob lam uruek” (Untuk apa
berharta banyak, kan’ tidak dibawa ke kubur,” cetus si kakek yang berkehidupan
papa-merana.
Penghayatan
Etos berarti sikap, kehendak, kebiasaan, watak, cara
berbuat, dan perhatian. Jadi, etos adalah suatu karakter yang sudah
mendarah-daging atau dalam istilah Aceh disebut ‘jaban droe’ (watak
diri). Dalam hal etos kerja bermakna; sikap lahir-bathin terhadap pekerjaan apa
saja yang dilakukan.
Menyimak sokongan budaya Aceh terhadap kerja yang sangat
positif , maka kita boleh berkesimpulan bahwa etos-kerja orang Aceh cukup baik.
Timbul pertanyaan, apakah sifat yang positif ini terjelma dalam kenyataan
hidup sehari-hari???. Memang benar, walaupun kadang kala bisa muncul
suasana pasang naik atau pasang surutnya.
Akibat tantangan yang bertubu-tubi yang tak sanggung
diatasi, mulai dari sinilah berkecambahnya sifat malas menodai seseorang. Bila
kemalasan ini terus berkembang terlalu lama, ia pun mampu berobah watak
seseorang menjadi berkarakter malas alias ‘beretos malas’.
Kenyataan beginilah, yang akhirnya menelorkan peribahasa:
“Atra sikai hanjeuet sicupak, barang ho tajak ka dumnan kada”, yang
mencerminkan rasa putus asa. Tetapi, jika selagi dini “penyakit malas”
memperoleh obat mujarabnya; besar kemungkinan akan normal kembali. “Banyak
faktor yang bisa menjadi ‘obat’bagi penyakit sosial (malas) tersebut.
Termasuklah diantara resep yang manjur adalah punya harapan bahagia di masa
depan/punya masa depan, terbuka kesempatan maju atau bakal sukses.
Dalam hal ini, campur tangan pihak-pihak yang “memiliki
kekuatan dan kekuasaan”, sangatlah menentukan tercapainya keberhasilan yang
didambakan, yakni terwujudnya Etos Kerja Positif/Rajin bagi kalangan masyarakat
luas atau massa-rakyat.
Khusus bagi para petani, tentu harapan mereka tertumpu
kepada harga hasil panen yang wajar di pasaran. Paling kurang, bisa imbang antara
hasil-untung dengan modal serta tenaga yang telah dicurahkan. Pokoknya, “nilai
tukar” barang hasil petani dari desa, tidak terlalu rendah berbanding harga
barang-barang kebutuhan mereka asal ‘kota/pabrik industri’.
“Bak akhe donya on trieng meuhareuga” (Di zaman canggih,
daun bambu pun bisa jadi duit), celoteh seorang nenek di pojok rumah; pertanda
gembira. Akibatnya, terwujudlah Etos Kerja Positif.
Semoga!!!.