Ulasan berikut adalah tentang sisa-sisa halaman
hikayat yang telah saya transliterasi/alih aksara ke huruf Latin. Ada tiga
judul hikayat dalam kumpulan ini, yaitu Hikayat Banta Beuramsah, Hikayat Malem
Diwa dan Hikayat Putroe Jeumpa. Saya sebut sisa hikayat, karena jumlah
halamannya memang tidak lengkap lagi. Memang dalam keadaan
demikianlah hikayat-hikayat itu di rumah saya di kampung
sejak dulu. Malah Hikayat Nabi Ibrahim hanya satu lembar kertas/dua halaman
tersimpan bertahun-tahun di rumah saya di sana. Sayangnya, setelah di Banda
Aceh ( mungkin lantaran banjir tsunami!), kini lembaran Hikayat Nabi Ibrahim
itu tidak saya jumpai lagi.
Satu hal yang mendorong saya menyalin hikayat ini
ke aksara Latin adalah isinya terkait dengan sejarah Aceh. Begitu pendapat para
ahli manuskrip Aceh seperti Prof. A.Hasjmy dan H.M. Zainuddin. Hal ini memang
membutuhkan penelitian lebih lanjut di masa mendatang. Misalnya, A.Hasjmy
menyebutkan, peristiwa dalam hikayat Banta Beuransah terjadi dalam Kerajaan
Aceh Darussalam dan hikayat itu ditulis pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
(Baca buku: A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah). Dalam ucapan hari-hari,
ejaan nama hikayat ini memang Hikayat Banta Beuransah, namun saya menyalinnya
sesuai dengan ejaan asli dalam naskah saya yaitu Bangta Beuramsah, yang saya
ubah ke Banta Beuramsah.
Hikayat Malem Diwa juga terkait sejarah Aceh,
yakni Sejarah Kerajaan Samudra-Pasai. Hal inipun perlu pengkajian selanjutnya.
Begitu pula dengan Hikayat Putroe Jeumpa. Kata orang, hikayat ini tersangkut
dengan Sejarah Kerajaan Jeumpa di sekitar kota Bireuen. Apalagi jika dipadukan
dengan Hikayat Raja Jeumpa, tentu kesejarahan hikayat ini(mungkin?) semakin
jelas. Malah di internet, pernah saya baca artikel” Kerajaan Jeumpa adalah
Kerajaan Islam tertua di Nusantara”.
Namun, yang paling menyentuh batin saya hingga
terpancing menyalin sisa-sisa ketiga hikayat
Adalah kesanggupan hikayat ini menjaga
keselamatan diri mereka sendiri. Hikayat Malem Diwa, misalnya; dia telah mampu
melestarikan dirinya, walaupun hanya dua halaman/empat lembar. Dengan kertas
yang cukup tebal, umurnya mungkin berabad, sudah dimakan rayap( bahasa Aceh:
pite) dengan lobang bundar dan memanjang di sana-sini, namun masih selamat.
Hikayat Banta Beuramsah, dengan kertas lebih
tipis dan lembut – mungkin akibat terendam air tsunami, banyak halamannya yang
melengket di sisi ujung/pinggiran. Perlu waktu tunggu hampir tujuh tahun agar
dapat melepas lengketan/dempetan ini dengan selamat. Pernah saya berusaha melepasnya
sebelum itu, namun tak berhasil karena dapat merobekkan kertas.
Begitu
pula dengan Hikayat Putroe Jeumpa. Halaman Hikayat ini paling banyak yang
berdempet dengan lumpur tsunami. Setelah hampir tujuh tahun ( Saat Tsunami
Aceh, Minggu, 26 Desember 2004 s/d awal November 2011 – Liburan Hari Raya ‘Idul
Adha, 6 November 2011 – barulah lengketan – meukeumat itu dapat ditarik dengan
selamat. Namun ada satu/separuh halaman lagi yang tetap tak dapat dibuka
dempetannya, yang mungkin memerlukan waktu tujuh tahun lagi buat menunggu masa
keringnya lumpur itu!.