Syair,Bermula
Dari Aceh Yang
dipelopori oleh syeikh hamzah al-fanzuri.
Ombaknya
zahir lautnya bathin
Keduanya wahid tiada berlain
Menjadi tawfan hujan dan angin
Wahid-nya juga harakat dan sakin
Keduanya wahid tiada berlain
Menjadi tawfan hujan dan angin
Wahid-nya juga harakat dan sakin
Pada tawfan itu yogya kau cari
Shamad-nya sana tiada khali
Kedua ala mini sekalian fani
Jangan kau pandang illa wajh al-Baqi
…
Shamad-nya sana tiada khali
Kedua ala mini sekalian fani
Jangan kau pandang illa wajh al-Baqi
…
Itulah kutipan bait syair buah karya sastrawan Aceh pelopor
lahirnya syair melayu. Syair yang merupakan salah satu bentuk khas dalam
sastra melayu hadir sebagai model sastra baru setelah pantun, gurindam dan
sonata pada abad ke-16 M. Syair yang sekarang sudah dikenal luas dan menjadi
kajian di seluruh dunia melayu ternyata bermula dari Aceh.
Kata syair diambil dari bahasa Arab dengan pengubahan cara
baca. Ucapan aslinya dalam bahasa Arab adalah Syi’r (Syi’ir). Secara definisi
syair sama dengan syi’ir Arab, yaitu gejolak jiwa, perasaan, pemikiran dan
perjalanan kerohanian seseorang yang diungkapkan dengan bahasa sastra. Namun
yang membedakan syair melayu dengan syi’ir Arab dari segi struktur tampilannya.
Di mana syair melayu dalam setiap bait terdiri dari empat baris, sedangkan
sayir Arab satu bait itu satu baris dari dua potongan kalimat. Huruf akhir
dalam satu judul syair melayu bisa berbeda-beda, namun tetap sama pada setiap
baitnya.
Syair sebagai karya sastra melayu yang bersajak berbeda
dengan pendahulunya. Sastra melayu yang hadir sebelumnya menggunakan persajakan
a-b-a-b atau a-a-b-b. Dua baris pertama pada setiap bait dalam pantun merupakan
kalimat sampiran, dan dua baris berikutnya isi atau kandungan pesan. Sementara
syair menggunakan persajakan a-a-a-a, dan semua baris dalam setiap bait
merupakan isi, tidak ada kalimat sisipan. Juga, pada pantun setiap barisnya
tidak ada yang terdiri dari 3 kata, melainkan 4 atau 5 kata. Sementara di syair
itu ada.
Syair lahir pada akhir abad ke-16 Masehi lewat tinta pena
seorang ulama besar Aceh yang terkenal dengan kesufiannya. Seorang ulama Aceh
yang termasuk dalam daftar para tokoh sufi dunia. Beliau menjadi orang penting
dalam bidang keruhanian di Kesulthanan Aceh Darussalam pada akhir masa Sulthan
Alaiddin Ri’ayat Syah keempat Sayyid Al-Mukammil (1590-1604 M.), dan pada awal
kepemimpinan Sulthan Iskandar Muda yang berkuasa pada tahun 1607-1636 M. (Ali
Hasymi, 1976). Seorang ulama yang ratusan kitabnya dibakar di depan Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh pada masa Sulthan Iskandar Tsani atas pandangan dan
usulan dari Syaikh Nuruddin Ar-Raniry. Beliau adalah Hamzah Fansuri.
Tidak diketahui secara persis tempat kelahiran Syaikh Hamzah
Fansuri. Dalam banyak riwayat menyebutkan ia berasal dari Barus atau Fansur (T.
Iskandar, 1965). Fansur adalah satu kampung yang terletak antara kota Singkil
dengan Gosong Telaga, Aceh Singkil (Ali Hasymi, 1976).
Sebagian peneliti sejarah lainnya menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Syahr Nawi. Nuqaib al-Athas, ilmuan dari Malaysia, dan beberapa
sejarawan lainnya meyakini bahwa Syahr Nawi itu nama lain dalam bahasa Persi
untuk kota Ayutthaya (Thailand sekarang). Berpijak pada fakta di mana terdapat
satu kota bernama Nawi yang terletak antara Fathani dan Senggora, Thailand.
Sementara Ali Hasymi tetap pada pendapatnya dengan
mengatakan bahwa Syahr Nawi yang terdapat dalam syair Syaikh Hamzah memang ada
di Aceh. Itu awalnya nama seorang raja dari Siam (Thailand) yang mengunjungi
dan menetap di Aceh zaman dahulu. Dia orang yang punya andil besar dalam
membangun Aceh pra-Islam.
Terhadap
kedua nama kota yang dipertentangkan tersebut; Fansur dan Syahr Nawi, Hamzah
Fansuri sering menyebutkannya di dalam syairnya. Seperti pada syair
berikut:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang 'ali
Daripada Syech 'Abdul Qadir Jilani
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang 'ali
Daripada Syech 'Abdul Qadir Jilani
Bahkan beliau juga sering menggabungkan kedua nama kota itu
dengan namanya, Hamzah. Seperti dalam baris syairnya: “Hamzah Fansuri di dalam
Makkah/Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah”, dan “Hamzah Syahr Nawi zhahirnya
Jawi/Batinnya cahaya Ahmad yang shafi”.
Terlepas dari dua pendapat di atas tentang asal usul Hamzah
Fansuri, yang pasti beliau pernah hidup dan berkarya di Aceh. Syaikh
Hamzah pernah menjadi orang penting di istana Kesulthanan Aceh Darussalam
dalam bidang agama. Beliau telah melahirkan banyak karyanya, baik dalam bentuk
buku maupun syair, yang berisikan tentang ajaran Islam dan tasawuf khusufnya,
selama hidup di Aceh sampai wafatnya.
Sehingga nama Hamzah Fansuri dikenal sebagai ulama sufi
agung dari tanah melayu. Selain seorang ulama sufi, ia juga perintis syair
dalam sastra melayu. Aliran sastra bersajak yang dibawakannya menampilkan model
baru dalam dunia sastra melayu. Tidak ada kalimat sampiran, atau kata-kata
kosong dalam karyanya. Semua yang dituangkan dalam karyanya adalah penuh makna
dan kandungan nasehat atau pelajaran.
Kelihaian menyusun kata dalam bait-bait syairnya dan mampu
menghadirkan warna baru dalam dunia sastra tidak terlepas dari perjalanan hidup
beliau. Sejak usia muda, Hamzah telah menekuni dan menghabiskan waktunya dalam
mengkaji ilmu agama. Salah satu tempat yang menjadi singgahan masa mudanya
adalah Dayah Blang Pria di Samudera Pasai, Aceh, di bawah asuhan Syaikh
Al-Fansuri.
Selanjutnya ia berkelana menuntut ilmu mulai dari Padang,
Banten, Kudus sampai ke Persia (Iran), Bagdad, Mekkah dan Madinah. Dalam
petualangan ilmiahnya di Timur Tengah beliau banyak berhubungan dengan para
ulama dan pujangga sufi. Perjalanan itu pula yang membentuk diri Hamzah Fansuri
menjadi seorang ulama dan penyair sufi.
Interaksi beliau dengan syair-syair sufi Arab telah banyak
mempengaruhinya dalam melahirkan karya sastra baru di tanah melayu. Hal utama
yang sangat dominan sebagai pengaruh dari sastra Arab adalah pada penciptaan
model baru sastra melayu bersajakan a-a-a-a. Ini merupakan gaya syair Arab yang
bertahan ratusan abad sebelum muncul puisi bebas pada era modern. Syair Arab
dikenal dengan keseragaman qafiah (persajakan a-a-a-a) untuk semua bunyi huruf
akhir bait (baris).
Selain itu, syair karya Hamzah Fansuri semuanya bertemakan
keagamaan yang membicarakan tentang iman, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Sehingga, secara umum, syair Hamzah dapat dikelompokkan ke dalam dua tema
besar, yaitu tentang tasawuf dan seruan (dakwah) ke jalan Allah. Pada
perekembangan berikutnya, tema-tema syair meluas berisikan tentang ilmu agama,
nasehat, sejarah dan hikayat-hikayat (cerita legenda).
Pengaruh lain ialah penggunaan simbul-simbul. Penggunaan
simbul ini sangat popular dalam tradisi sufi, sehingga terbawa ke dalam
syair. Seperti penggunaan simbul “ikan dan samudra”, “ombak dan buih”, untuk menggambarkan
konsep manusia dan Tuhan dalam pandangan ahli wahdatul wujud. Hamzah juga
menggunakan simbul tersebut dalam syairnya, seperti:
Di laut 'ulya yogya berhanyut
Dengan hidup shuwari jangan berkabut
Katakan anal haq jangan kau takut
Itulah ombak menjadi laut
Dengan hidup shuwari jangan berkabut
Katakan anal haq jangan kau takut
Itulah ombak menjadi laut
Ciri khas syair Hamzah Fansuri lainnya yang merupakan
pengaruh langsung dari penyair Arab, salah satunya Ibnu Arabi, adalah
penggunaan kata ALLAH pada akhir setiap baris dalam satu bait. Seperti pada
syairnya berikut ini:
Sabda rasul al-sakhi habib Allah
Yakni: yang sakhi itu wali Allah
Barang siapa bakhil da’im baid Allah
Dunia akhirat ‘aduww Allah
Yakni: yang sakhi itu wali Allah
Barang siapa bakhil da’im baid Allah
Dunia akhirat ‘aduww Allah
Hamzah juga mengutip atau menjelaskan kalimat Al-Quran dan
Hadis dalam syairnya. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam
syair-syairnya. Contoh Syair Hamzah Fansuri yang mengutip ayat antaranya:
Mutu qabla an tamuta
Supaya engkau sampai kepada Ya man huwa
A-lastu bi-rabbikum dan qalu bala
Dalam sana jangan kau syahwa
Supaya engkau sampai kepada Ya man huwa
A-lastu bi-rabbikum dan qalu bala
Dalam sana jangan kau syahwa
Kehadiran syair-syair Hamzah Fansuri tidak terlepas dari
bentuk dan pesan-pesan yang ada pada syair Arab. Tetapi beliau telah mengubah
dan mengungkapnya dengan bahasa yang lain. Penggunaan simbul-simbul dan
istilah-istilah yang dekat dengan masyarakat melayu menjadi salah satu
pilihannya. Namun penggunaan istilah Arab dan Persia juga masih sangat banyak
didapat dalam syairnya.
Penyair dan ulama yang mengakhiri masa hidupnya di pelosok
bagian selatan Aceh, tepatnya kampung Oboh, Rundeng, Kota Subulussalam, telah
mengangkat bahasa melayu menjadi bahasa tulis resmi. Syair-syair yang
diciptakannya dalam bahasa melayu secara tidak langsung sudah mengabadikan
bahasa masyarakat semenangjung Asia Tenggara. Syair-syair itu ditulisnya di
Aceh. Dari Aceh kemudian syair melayu berkembang dan selanjutnya menjadi cikal
bakal lahirnya puisi dalam sastra Indonesia dan Malaysia.
Jadi,sedah tahukah kita asal mula syair itu,sekarang apa
yang terbayang dalam pikiran kita,masih adakah yang melestarikan syair-syair
aceh,mungkin sebagian masih ada.tapi perlu kita ketahui denag bersyair kita
akan membuat suasana yang indah baik itu saat kita dilanda kesusahan dan
kesenangan,karena syair akan menyatukan hati kita menjadi tenang dan
tentram.denagn syair pula kita akan mengapresiasikan suatu nuangsa atau makna kehidupan.
Dengan bersyair kta juga bisa berbagi isi hati(curhat) dan
masih banyak lagi,penulis menghimbau kepada para peminat seni sastra khusus dan
masyarakat aceh umumnya,mari kita lestarikan syair aceh.