Penguatan Masyarakat Adat
Bila kita buka kembali
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, paling tidak kita
akan mendapatkan tiga lingkup besar hal yang terkait dengan kata-kata ”adat”,
yakni: Pertama, yang diatur dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99.
Hal-hal yang diatur
dalam sejumlah pasal tersebut antara lain: (1) urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam konteks
keistimewaan Aceh, antara lain adalah penyelenggaraan kehidupan adat; (2) salah
satu hal yang harus dilakukan wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota
adalah membantu gubernur/bupati/walikota dalam hal memberdayakan adat; (3)
posisi wali nanggroe sebagai kepemimpinan adat yang merupakan lembaga
independen yang berhak memberikan gelar adat dan kehormatan. Di samping itu,
terdapat pula ketentuan mengenai lembaga adat pada umumnya.4). Secara garis
besar, sejumlah pasal tersebut mengatur antara lain: (1) Pemerintah kabupaten/kota
dalam hal tata ruang harus memperhatikan adat budaya setempat; (2) kewajiban
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan pengelolaan
lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi
sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan
keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk; (3) kewenangan Pemerintah Aceh
untuk melakukan pemeliharaan hukum adat laut; (4) Pemerintah Aceh dan/atau
pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan
dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai
dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional; (5)
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip adat.
Ketiga, Pasal 77 ayat (2),
Pasal 202 ayat (4), Pasal 207 ayat (1), dan Pasal 210. Dalam ketentuan
tersebut, hal yang diatur: (1) partai politik lokal dapat mencamtumka n ciri
tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi
kehidupan masyarakat Aceh; (2) prajurit TNI yang bertugas di Aceh menghormati
adat istiadat; (3) seleksi dan penempatan polisi oleh kepolisian daerah di Aceh
memperhatikan adat istiadat; (4) seleksi dan penempatan jaksa, memperhatikan
adat istiadat.
Dari semua ketentuan
itu, aturan pelaksana yang sudah selesai dan secara khusus mengatur tentang
adat adalah Qanun Nomor 9 Tahun 2008 (Lembaga Adat) dan Qanun 10 Tahun 2008
(Pembinaan Adat). Pada aras kedua, kita juga mendapatkan Qanun Nomor 3 Tahun
2009 (Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Mukim) dan Qanun Nomor 4 Tahun 2009
(Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik). Dua ini lebih kepada proses
pengisian lembaga adat mukim dan gampông, yang sekaligus lembaga tersebut
adalah lembaga pemerintahan.
Saya akan menggunakan
parameter tiga pemosisian dalam melihat konteks adat, yakni pemerintahan,
lembaga, dan kesatuan masyarakat hukum adat. Bila melihat tiga kategori dari
ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, optik dengan tiga pemosisian
tersebut mutlak dibutuhkan.
Tiga pemosisian tersebut
bila menjadi alat analisis untuk melihat sejauh mana ketentuan normatif mengadopsi
aspek pemerintahan, lembaga, dan kesatuan masyarakat hukum adat sekaligus.
Namun demikian, harus menjadi catatan bahwa kadaritas ketiganya, baik pada
daerah maupun waktu tertentu, bisa saja berbeda-beda.
Berdasarkan optik
tersebut, kita bisa menemukan ada sejumlah ketentuan yang sudah direalisasikan,
dan masih banyak yang belum diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan
operasionalisasi kekayaan alam dan penataan ruang. Hal yang disebut terakhir
juga menjadi inti, sesungguhnya bagaimana kita memandang masyarakat dalam
konteks masyarakat adat.
Sederhananya adalah
secara kelembagaan dan pemerintahan alat ukur normatifnya sudah jelas. Lalu,
bagaimana dengan hak-hak masyarakat yang disebut sebagai masyarakat adat? Hal
ini dimungkinkan karena untuk menyelesaikan posisi lembaga dan pemerintahan,
lebih mudah dilakukan karena tidak mencakup bidang-bidang yang operasional ingá
ke teknisnya.
Dalam banyak kasus, hak
masyarakat tersebut sering diabaikan. Konflik yang terjadi di berbagai tempat,
umumnya meminggirkan adanya kenyataan masyarakat adat. Kenyataan ini di satu
pihak memperumit keberpihakan dan adanya hak (kenyataan) masyarakat adat
semakin bisa dipertanyakan, dan di pihak lain, kenyataan “pengakuan hukum”
adanya masyarakat adat boleh dikatakan masih sarat masalah.
Pertanyaannya kemudian
adalah apakah konsep “pengakuan hukum” yang selama ini dikenal di Aceh, sesungguhnya
sudah menjawab dari apa yang diharapkan?
Jawaban dari pertanyaan
ini, bila menggunakan tiga pemosisian tersebut di atas, belum semuanya tercapai
dari apa yang diharapkan. Konsep pengelolaan sumber daya hingga sekarang masih
belum berpihak. Jadi tanggung jawab pemerintah dalam hal memenuhi, melindungi,
dan menghormati hak masyarakat, juga sesungguhnya masih bisa dipertanyakan.
Memang pembuat
undang-undang sudah sadar bahwa seperti yang dikatakan Friedrich Carl Von
Savigny, “das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke”
(hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).
Kesadaran tersebut diwujudkan antara lain dengan mengadopsi sejumlah “hukum
lokal” dalam hukum positif, sebagai jalan tengah potivisasi nilai-nilai dalam
hukum positif.
Masalahnya adalah
berbagai ketentuan yang mengadopsi “hukum lokal” tersebut tidak lebih kuat
dari ketentuan lain yang mengabaikannya. Dalam konteks pembangunan, berbagai
hal yang berkaitan dengan kenyataan masyarakat adat, pada kenyataannya bisa
dipinggirkan. Contoh paling dekat adalah peruntukan tanah untuk “pembangunan”
masih bisa mengabaikan kenyataan ulayat.
Dalam penguatan
masyarakat adat, menurut saya, “pengakuan hukum” mengenai keberadaan masyarakat
adat adalah penting diselesaikan. Kategori operasionalisasi pengelolaan sumber
daya alam, misalnya, haruslah diselesaikan secepatnya dengan tidak mengabaikan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kenyataan masyarakat (adat).
Pada kenyataannya, hal
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya, justru tidak tegas
keberpihakannya terhadap masyarakat adat. Hal ini menjadi masalah, sekaligus
bukti bahwa “pengakuan hukum” sendiri, diukur dengan tiga pemosisian di atas,
pada kenyataannya masih setengah-setengah.